SEMU (15) END

4.1K 273 37
                                    

Yang belum 21+ diharapkan kesadarannya untuk skip cerita ini.

"Tante, boleh aku nambah es krim coklat lagi?" Suara lirih Rizky membuyarkan lamunan Sofi. Mungkin anak ini mulai bosan. Percakapan panjang dengan seorang pengacara sekaligus teman SMA itu membuatku bimbang.

Seorang pramusaji mengantarkan sepiring besar es krim coklat yang diatasnya bertaburan gula-gula warna warni. Rizky langsung asik dengan es krim dan Sofi kembali berpikir. Perceraiannya dengan Rama bukan soal sulit, namun hak asuk Rizky lah yang tidak mudah. Bukan perkara sulit untuk mengumpulkan saksi memperberat posisi Rama dipersidangan nanti. Namun, untuk mendapatkan hak asuh Rizky yang masih dibawah umur, Sofi harus mendapatkan persetujuan berbagai lembaga. Disamping dibawah umur, orang tua Rizky masih hidup semua. Untuk itulah dia rela membayar mahal, Sofi akan mendapatkan Rizky entah bagaiamanapun caranya.

Sofi mengalihkan pandang pada ponakannya itu. Wajahnya polos. Berkali-kali dia menanyakan Tina. Tak seorangpun berani pulang tadi malam. Lebih baik begitu.

"Hai jagoan, besok mau bawa bekal apa kesekolah? Habis ini kita belanja ya." Sofi berkata ceria pada Rizky.

"Besok hari Rabu, jadi besok harus bawa bekal sayur warna hijau,"

"Baiklah jagoan, nanti sore kita belanja bareng ya. Pilih sayur kesukaanmu." Sofi mengusap kelapa Rizky. Anak itu mengangguk dan menyendoki kembali es krim coklatnya. Pahit hati Sofi sama sekali tak mengurangi kenimatan Rizky merasakan manisnya es krimnya.

*********

Degub jantung yang seakan akan berlari dari tempatnya untuk membohongi kenyataan yang tergambar di didepan mata Rini berkata lain. Hatinya bagai tercerai berai entah kemana. Dia ingin memejamkan mata namun gagal. Selembar kain kecil berwarna kuning yang terpasang di depan rumah sederhana berwarna hijau itu seakan mengkaburkan pandangan.

Hanung memarkirkan mobil tepat di depan rumah. Dia menggenggam tangan Rini merasakan getaran dalam telapak tangan halus itu. Dia memandang wajah yang biasa penuh senyum, kini dihiasi oleh bulir air mata. Rini melepaskan tangan Haunung dan keluar dari mobil. Menghadapi hangatnya udara Brebes yang mulai terik karena siang telah datang. Dia berlari masuk kerumah dan mendapati sesosok tubuh terbaring dan disekitarnya tampak orang-orang melafadzkan ayat-ayat suci. Semua memandang iba pada anak yang telah lama tidak kembali.

Seorang wanita berpakaian seadanya mendekat. Tergambar jelas kerutan nestapa dan kehilangan mendalam. Dia memeluk anaknya yang telah dinanti. Pelukan kerinduan dan kehilangan yang terasa bagai es di tubuh Rini.

"Sabar, Nduk. Sudah jalannya. Bapak sudah tidak sakit dan sudah bahagia." Getir nampak jelas di suara perempuan tua ini.

"Rini belum bisa buat bapak tersenyum," Rini masih memandang lurus ke arah tubuh yang berada di tengah ruangan. Hanung tidak berani mendekat dan hanya berdiri di belakang Rini. Dia ingin memeluk Rini tapi bukan saatnya, bahkan menggenggampun. Hanung hanya meremas jemarinya melihat perempuan bermata jeli itu menangis di pelukan ibunya.

Rini melepaskan pelukan ibunya. Berjalan mendekati tengah ruangan dengan gontai. Semua pandangan mata memandang. Rini tak bernyawa dalam melangkah. Tatapan matanya kosong namun dingin. Air mata merindukan keluar dari tempatnya saat itu. Hening tanpa ada yang berkata. Sehening hati Rini. Mungkin bila dinding bisa berkata mereka akan menjerit melihat semua adegan menyesakkan ini. Kehilangan bukan hal mudah.

Rini menangis di atas kain yang menyelimuti tubuh laki-laki yang mencintainya tanpa syarat. Semua dia ditumpahkan dengan tangis. Hanung mendekat. Mengabaikan semua mata yang memandang penuh tanya tentang siapakah dirinya.

"Rin, ikhlaskan. Bapak sudah tenang di sana. Dia nggak mau lihat kamu menangis seperti ini," Hanung mengusap punggung Rini. Sejuta kehangatan ingin Hanung salurkan dengan usapannya. Walau dia tahu kali ini tidak akan berhasil.

SEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang