SEMU (10)

7K 302 45
                                    


(Dimohon yang belum 21+ untuk skip cerita ini) 

Hanung menghentikan motor tepat di depan sebuah gerbang rumah bercat hitam. Rumah itu berwarna hijau muda, disampingnya ada sebuah bangunan yang dirubah macam klinik, warnanya putih polos. Di depannya ada sebuah bangku panjang dari kayu, bercat senada dengan kayu asli. Di halaman rumah bercat biru itu terdapat bermacam pot berisi bunga-bunga aneka warna. Nampak asri sekali, apalagi ditambah dua pohon besar tua yang daunnya rimbun. Kesan sejukpun tak terelakkan lagi. 

Tina memencet bel yang ada di sebelah pintu masuk pagar hitam. Tidak berapa lama ada seorang ibu-ibu berdaster yang keluar dengan tergopoh-gopoh dan membukakan pintu. 

"Hai, selamat sore. Benar ini rumah Ibu Retno?" Kata Tina menyapa ibu-ibu di depannya itu.

"Sudah bikin janji?" Sahut ibu-ibu tadi meneliti Tina dari atas kebawah. 

"Belum, Bu," kata Tina jujur.

"Tunggu di kursi depan klinik dulu ya," kata ibu tadi sambil menunjuk kursi panjang di depan klinik. Tina dan Hanung berjalan kearah klinik dan duduk disan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. 

Sepuluh menit kemudian, pintu terbuka dari dalam klinik dan nampak seorang perempuan berumur sekitar 40 tahun. Menggunakan sebuah kacamata tebal dan rambut di ikat kebelakang. Wajahnya sangat keibuan. Membuat siapa saja yang memandangnya akan merasakan pelukan hangat seorang ibu yang merindukan anaknya.

"Ayo masuk," katanya sambil membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan Hanung dan tina masuk. Setelah mereka semua berada di dalam, pintu kembali dikunci oleh perempuan itu. Dia berjalan kearah sebuah meja yang diatasnya terdapat stetoskop, berkas-berkas dan beberapa buku berwarna merah muda. 

"Saya, Retno. Orang biasa memanggil saya Bu Retno," perempuan itu memperkenalkan diri. Tina mengangguk. 

"Saya Tina dan ini Hanung," kata Tina sambil menunjuk dirinya lalu Hanung. Hanung menganggukkan kepalanya yang dibalas dengan anggukan penuh keramahan. 

"Jadi, ada yang bisa saya bantu?" Bu Retno menatapa Tina dan Hanung bergantian. Hanung salah tingkah dipandang begitu.

"Mulai dari mana ya?" Kata Tina sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Bu Retno tersenyum pada Tina. seakan tahu kata-kata yang tidak bisa terucap dari bibir peremuan muda di depannya itu.

"Hamil ya?" Tembak Bu Retno tepat sasaran. Tina tersenyum canggung, namun mengangguk juga. 

"Sudah berapa bulan?" Lanjut Bu Retno. 

"Harusnya tiga bulan lalu saya sudah mens, tapi sampai sekarang belum. Saya kira telat efek pusing skripsi. Ternyata setelah saya check, kok positive," jawab Tina jujur. 

"Ayo, saya periksa saja. Biar pasti. Berbaringlah disana." Bu Retno menunjuk sebuah kasur kecil di pojok ruangan. Di sebelah kasur itu ada sebuah alat UltrSonoGraphy (USG). 

Tina membaringkan tubuhnya dan Bu Retno menyingkap kaos yang Tina kenakan. Alat USG itu bermain di perut Tina dan berputar kesana kemari. 

"Ini kepalanya, ini kakinya, ini badannya." Bu Retno menjelaskan kepada Tina. Tina hanya diam tidak bisa berkata-kata. Hanung menatap takjub dari tempat duduknya. 

"Umur kandungannya sudah 15 minggu." Bu Retno melanjutkan tanpa menunggu salah satu dari mereka berbicara. Sepertinya dia sudah sering menemui situasi seperti ini. 

"Sudah mantap mau aborsi?" Bu Retno menatap Tina di depannya dan menatap Hanung yang masih duduk di depan meja. 

"Mantap, Bu." Suara Tina tidak bergetar sedikitpun. Hanung terpana, darimana Tina dapar keberanian sebesar itu? 

SEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang