(Dimohon kesadarannya yang belum 21+ untuk skip cerita ini)Seorang wanita dan laki-laki tengah duduk disebuah teras belakang rumah bercat biru muda. Raut mereka berkecamuk dalam gundah dan ketegangan yang sulit ditebak
"Aku mohon, Nung. Bantu aku terakhir kalinya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana," wanita itu mulai terisak.
"Aku kau sudah gila?! Bukan aku yang membuatmu begini!" Suara lelaki itu mulai meninggi.
"Aku tahu, tapi aku tidak punya pilihan. Laki-laki itu membuangku," wanita itu menatap Hanung dengan air mata mengalir.
"Sudahlah, Tina. Jangan kau gunakan air mata itu untuk membujukku. Aku tetap tidak mau. Aku tahu kita sahabat tapi bukan dalam hal ini juga," Hanung membuang muka.
Tina menutup wajah dengan kedua tangannya, dia mulai terisak keras. Hanung menatap perempuan disebelahnya dengan iba. Menyayangkan sahabatnya yang ternyata sudah terlewat batas. Tapi dia pun tidak ingin menjerumuskan dirinya sendiri dalam masalah pelik wanita ini. Apapun yang terjadi, ini bukan kapasitasnya untuk membantu. Tina mengangkat wajahnya dan menoleh menatap Hanung.
"Kalau begitu antarkan aku untuk menggugurkannya,"
Hanung membelalak.
#########
Tanganku berkeringat. Aku menggenggam tas tangan dengan erat. Mobil melaju ke arah Arjowinangun. Hanung mengemudi dengan muka mengeras. Mungkin degup jantungnya lebih keras dariku. AC mobil hampir tak terasa dikulitku yang hanya mengenakan kemeja tipis. Hanung membuka kaca mobil dan mulai menyalakan rokok. Dia tak sekalipun menatapku setelah melajukan mobil.
"Kita mau kemana, Mas?" tanyaku memecah keheningan.
"Kerumahku." Katanya tanpa ekspresi.
"Kau sehat? Aku tidak mau mati ditangan ibu mertuamu yang gila itu!" Aku panik.
"Kau bilang ingin aku seutuhnya. Jadi mari kita akhiri semuanya malam ini."
"Mas, berhenti dulu. Ayo kita bicarakan semuanya," tanganku menyentuh lengan Hanung.
"Apa lagi, Rin? Aku muak dengan semua ini! Aku muak terjebak dengan keluarga busuk itu!"
"Coba katakan padaku, apa yang terjadi sebenarnya. Aku tidak tahu masalah yang sebenarnya." ucapku pelan, mencoba untuk meredakan emosi Hanung.
"Aku tidak tahu mulai darimana, Rin. Dari awal memang ini ketololanku. Aku yang harus mengakhiri semua ini,"
"Ayo minggir di depan sana. Tidak baik mengemudi dengan emosi begitu. Aku tidak ingin mati konyol di dalam mobil."
Hanung menatapku dan masih mengemudikan mobil. Dia melambatkan laju kendaraan dan memarkirkannya di depan sebuah minimarket. Kami hanya duduk di dalam mobil. Hanung meletakkan kepala diatas kemudi yang masih dia genggam erat. Tangannya sedikit gemetar.
Aku beranjak dari tempat duduk dan memeluknya dari samping, mencium kepala Hanung dan mengusap lengannya. Semua kehangatan yang kumiliki, coba kumasukkan dalam pelukan yang posisinya janggal ini. Hanung tidak mengangkat kepala sama sekali. Dari balik punggung, degup jantung itu begitu terdengar.
"Entah apa yang terjadi, aku benar-benar tidak mengerti. Namun mari kita bicarakan dulu. Ini bukan perkara kecil. Aku menyayangimu, Mas." Aku melepaskan pelukan dan memandang Hanung yang masih menunduk pada kemudi. Dia mengangkat kepalanya, menatapku.
"Aku tidak tahu harus bertahan seperti apalagi. Aku sudah mencoba 5 tahun ini. Rasanya sesak dan memuakkan," bisiknya lirih. Aku tidak tahu harus berkata apa, karena tidak tahu keseluruhan masalahnya. Semua kecapakan berbicara seakan menguap entah kemana. Lebih mudah menghadapi bos-bos besar daripada menghadapi Hanung malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU
RomanceDimulailah suatu petualangan indah nan menyakitkan ketika Rini menyambut Hanung masuk dalam kehidupannya. Rini ingin memliki Hanung seutuhnya, di satu sisi Tina sebagai istri sah Hanung masih menghantui petualangan gila Hanung dan Rini. Akankah Rin...