Ren bungkam. Ia bersandar di balik batang pohon musim dingin. Rasa yang dingin menusuk merembes menembus punggungnya yang dibalut sweeter rajut. Ia masih mendengarkan. Keluh kesah Vier kecil yang hanya bisa ia utarakan pada pohon musim dingin. Vier kecil biacara dengan suara pelan, membuat Ren harus menajamkan pendengarannya lebih dari biasanya.
Menunduk. Tanpa sadar kerumunan air mata mulai mengisi pelupuknya. Luruh hingga membasahi pipi sesaat. Ren menghapus air matanya. Ia tak tahu jika curahan Vier kecil--yang seharusnya tak pernah ia dengar--begitu menusuk hatinya. Hidup di dalam istana tidak menjamin kebahagiaannya sama sekali. Ia hidup dalam tekanan. Setiap hari?
"Vier, maafkan aku telah mengetahuinya." Ren menggeleng. Ia berusaha mengeluarkan dirinya dari ingatan Vier. Namun, yang ia dapat saat berusaha lebih keras hanyalah rasa sakit yang menghantam kepalanya.
"Aku akan pergi ke Periwinkle Hill. Sendirian."
Perkatan Vier menghentak Ren. Gadis itu bergerak cepat, menatap Vier kecil yang sudah berdiri sembari meletakkan telapak tangan kanannya di atas permukaan batang pohon. Kepalanya tertunduk, lengkap dengan senyuman. Bagaimana bisa bocah yang baru berusia tujuh tahun berniat pergi ke tempat berbahaya? Ren pernah dengar rumornya. Tentang pucuk terdingin Benua Shappire yang berbahaya itu. Tempat yang katanya sarang bandit, tempat para buronan tersembunyi, juga para pembuas tak teridentifikasi.
"Bagaimana mungkin kau mau ke sana sendirian!?" sentak Ren. Napasnya memburu. Matanya menatap nyalang ke arah Vier kecil. Ia hampir lupa dirinya tengah menjelajah ingatan Vier bukan menjelajah waktu.
"Buku di perpustakaan kerajaan membertahuku tentang cara menjadi kuat." Vier tersenyum. Sebuah senyuman yang menyakitkan di mata Ren. "Katanya, jika kita bisa mengikat janji dengan soul, mereka akan memberi kita kekuatan."
Ren menggeleng. Bagaimana mungkin Vier kecil senekat itu?
"Aku ingin jadi kuat. Seperti standar raja yang mereka inginkan."
Perlahan, semuanya memburam. Gambaran dalam ingatan Vier memudar. Menghilang menjadi ketiadaan. Ren menutup matanya. Membiarkan dirinya terbawa kemana matanya mengarah.
"Ren!"
Ren terhentak merasakan tepukan di bahunya. "Ah, i-iya."
Dirinya kembali ke realita. Duduk di antara siswa AirStreet yang menikmati santap malam mereka. Riuh suara orang-orang serta kelotak alat makan merasuki pendengarannya.
"Kamu menangis, Ren. Ada apa?" Cecil menatap lamat wajah Ren yang dibasahi air mata.
"A-apa?" Ren merapa pipinya. Basah. "Sejak ... kapan?"
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" Musa bertanya cemas.
Ren membuang tatapannya ke arah Vier yang duduk jauh di sana. Ia masih duduk berbincang dengan beberapa kenalannya. Sejenak tatapan mereka bertemu. Ren menelusuk mata Vier. Kini, bukan tatapan tajam yang tegas lagi yang Ren dapat, tapi sebuah tatapan luka yang disembunyikannya dengan baik.
Ren membuang wajah. "Aku merasa aneh hari ini. Kurasa aku harus istirahat." ia beranajak dari duduknya sembari memijit kepala.
"Akan kuantar." Musa ikut berdiri, menawarkan diri.
"T-terimakasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess: MEMORIES
Fantasy-- Second Book -- (𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) Kehidupan Re...