Butiran putih salju yang dingin perlahan turun dari angkasa yang muram. Cahaya fajar remang-remang di ufuk timur, tampak tak dipersilakan untuk menyinari pagi yang guram itu. Ini musim dingin yang akan diingat sepanjang sejarah berlalu. Bencana besar macam ini, tak mungkin dilupa, bukan? Ren menengadahkan kepalanya. Bumantara masih senantiasa menghujani bumi dengan butiran dingin. Menoreh gigil pada kulit-kulit tipis manusia. Ren tak berani mengedarkan pandang ke sekitar, hanya terpaku ke depan--ke jalannya. Di sekitarnya, banyak reruntuhan dan jasad-jasad tak bernyawa berserak. Darah dan tubuh-tubuh pucat tergolek membuat asam lambungnya naik.
"Kemari." Vier menariknya ke arah menara yang berdiri tak terlalu tinggi. Namun, masih kokoh berdiri. Lain dengan bangunan lain yang telah lebur. Ren pikir, menara itu terlalu kecil untuk disebut posko bencana, atau hanya kelihatannya saja?
Ada sebuah pintu berdaun dua yang terbuat dari lempeng besi di depan menara. Di depannya, ada dua orang laki-laki berdiri. Seolah sedang berjaga. Salah satunya berteriak saat melihat Ren dan Vier. "Ketua!"
Ren memperhatikan laki-laki yang menghampiri mereka berdua. Ia bukan wajah yang familiar di AirStreet, tapi Ren pernah melihatnya sekali dua kali. Dan setelan yang dipakainnya ... Oh, lencana Elite.
"Ketua, akhirnya," katanya dengan ekspresi lega, "semua orang mencarimu. Keadaan barrier sungguh sangat gawat."
Ren tak tahu, entah berapa hari sudah berlalu sejak dirinya tertimbun. Hingga bala bantuan dari Nattcattira pun sudah datang--dengan adanya para anggota Elite Royal High School. Tak mungkin sehari dua hari. Pasalnya, perjalanan antara Nattcattira dan Hillaria bukanlah perjalanan pendek.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
"Sebaiknya kau menanyakan detailnya pada Ms. Delian dan anggota aliansi pelindung lainnya. Mereka sungguh menantikanmu," jawab laki-laki dengan seragam Elite itu. Ia memberi isyarat pada Vier untuk segera masuk ke dalam.
"Baik," jawab Vier mengerti. Ia melangkah masuk, membawa serta Ren yang menggigil di belakangnya.
"Kau sebaiknya menuju posko medis. Mungkin kau butuh diperiksa," kata laki-laki tadi menambahkan dari luar menara.
"Aku mengerti."
Cahaya tampak meremang di dalam menara. Bahkan, Ren lihat, sebagian penerangan digantikan oleh obor-obor dengan nyala elemen api. Terobosan penerangan yang hemat, batin Ren. Gadis itu menatap langit-langit yang gelap dan lembab, lagi dinding yang berlumut. Ia rasa, tempat macam ini sama sekali tak layak dijadikan posko bencana ataupun bungker. Bukankah ini terlalu tua? Seharusnya pun, menara ini runtuh terlebih dahulu ketimbang bangunan lain. Namun, pemikiran itu terpatahkan saat Vier menggiringnya turun melalui tangga ke bawah tanah. Menara tadi hanyalah jalan masuk yang telah dibangun sedemikian rupa hingga tak terdampak bencana.
Di bawah, mereka disambut lorong-lorong yang sibuk. Orang-orang lalu-lalang dalam urusan mereka. Para relawan medis yang bolak-balik memboyong obat-obatan, atau petugas logistik yang sibuk menggotong kotak-kotak yang entah apa isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess: MEMORIES
Fantasy-- Second Book -- (𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) Kehidupan Re...