Part 5: who's in Ansel's heart?
Matahari masih terbit dari timur di pagi hari, dan terbenam pada mega merah di sebelah barat menjelang malam. Ombak masih berdebur dan dedaunan pohon casuarina masih bergemerisik tertiup angin laut. Semuanya masih berjalan sebagaimana mestinya. Begitu juga kehidupan di dalam mansion. Lengang dan tenang seperti biasa. Hampir terasa memuakkan.
Apakah seperti ini adalah sebuah hidup yang normal?
Seperti halnya rutinitasnya, Ren kembali duduk terdiam di depan jendela besar. Ia telah mengulangi itu setiap pagi. Entah besok, lusa, atau lusanya lagi. Selagi ia masih terus berdiam di dalam mansion, mungkin kebiasaannya itu tak akan hilang. Toh, tak banyak yang bisa dilakukan. Setidaknya lanskap muram itu sedikit dapat mengusir kebosanannya atau mungkin saja malah memperparahnya.
Setelah memandangi luar jendela selama setengah jam, biasanya ia akan pergi mandi. Berendam sampai kulit jemarinya berkerut kalau dirinya lebih bosan lagi. Tapi, pagi ini langit begitu mendung. Lebih mendung dari yang sudah-sudah. Air tawar yang keluar dari keran pasti akan sangat dingin. Rasanya lebih baik tak mandi. Toh, ia juga tak berkeringat sama sekali. Bukankah tak mandi selama sehari bukan masalah?
Ren sempat mengganti piamanya sebelum mengikat rambut dan melenggang keluar kamar. Pagi di mansion tampak lengang, seperti biasa. Yang gadis itu temui hanya lorong-lorong sepi. Mereka seolah-olah tengah berbisik padanya. Aksen klasik dari mansion kadang kala membuatnya takut. Rasanya seperti terkurung di tempat angker yang dihuni hantu-hantu gentayangan. Atau lebih spesifiknya dapat dikategorikan mirip mansion terkutuk yang menyimpan beribu misteri. Mungkin terkurung juga ada benarnya. Entahlah.
Ia akui, Ansel punya selera buruk untuk memilih mansion macam ini. Dirinya sekarang akan lebih suka jika mereka pergi ke tempat yang lebih berwarna dari sekadar pantai pasir hitam. Seperti pulau pasir putih dengan ombak laut yang tenang misalnya, atau bahkan vila di perbukitan. Membeli bangunan di tempat-tempat itu pasti lebih murah daripada mansion ini. Lihatlah, memikirkan cara membangun bangunan di tempat terpencil dan kontur tanah tak bersahabat macam ini pastinya telah menguras kantong. Untuk apa membayar mahal lanskap yang sama sekali tak memiliki nilai estetik. Kecuali Ansel adalah orang dengan selera unik.
Ren sudah turun ke lantai bawah saat Ansel meletakkan mug-nya di atas meja makan. Laki-laki itu tersenyum saat melihatnya. "Aku baru saja akan memanggilmu."
"Ah, tidak, tidak. Aku bisa turun sendiri."
Ren lantas menempatkan dirinya di salah satu kursi dan meraih gelas berisi susu yang telah disiapkan untuknya. Asap dari minuman itu mengepul, ikut membaurkan aroma susu kental kualitas terbaik. Ia bertanya-tanya, dari mana laki-laki itu mendapat pemasok kebutuhan yang mau jauh-jauh mengirimkan barang. Apalagi, kebanyakan komoditas malah akan busuk di perjalanan, atau mereka punya cara khusus. Ah, yang Ren yakin, Ansel cukup kaya untuk membayar semua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess: MEMORIES
Fantasy-- Second Book -- (𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) Kehidupan Re...