Chapter 6²

2.1K 253 355
                                    

Matahari kian raib dari ujung cakrawala kala Ren sibuk menghabiskan sorenya bersama si kembar. Semburat jingga kian mengabur, turut serta menghilang bersama matahari yang kembali ke peraduan. Siluet sekumpulan burung yang hendak kembali ke sarang nampak jelas di depan latar langit jingga. Memamerkan keelokan alam yang tak pernah absen tiap harinya.

"Jadi, apa ini saatnya mengucapkan selamat tinggal?" Zuan bertanya sembari menurunkan alisnya. Membuat raut sedu.

"Yah, kupikir begitu."

Ren menggaruk tengkuk. Matanya menerawang ke arah baris banjar awan yang semakin kemerahan di ujung barat. Ribuan kenangan yang berasil terajut selama dirinya di Royal High School bergulir. Berputar dalam salinan memori di kepala. Menumbuhkan tunas-tunas kerinduan yang menantikan dirinya mekar. Berbunga dan membawa Ren untuk kembali.

Ren beranjak dari duduknya. Ia bertumpu pada pohon yang menjadi tempat favoritnya dengan si kembar menghabiskan waktu sore. Gadis itu menengadah, menatap dedaunan yang bergelayutan pada dahan-dahan kokoh. Satu dua dari mereka gugur, terbawa angin, lantas jatuh ke tanah dan raib tertelan pembusukan.

"Aku akan sering menghubungi kalian," ujar Ren, "kita bisa bertatap muka lewat video call, 'kan?"

Zeon mengangguk. "Tentu saja."

Desir angin kembali berhembus tenang. Membawa kabar dari tempat yang jauh. Mengangkut kabar kepergian Ren dan kembali pergi tuk disebar ke seluruh penjuru Benua Shappire.

"Baiklah." Ren menepuk telapak tangan. Membersihkan debu yang sempat berkerumpul di sana. "Selamat tinggal. Aku akan sangat merindukan kalian." gadis itu mengembangkan senyum yang namapak mendung. Bukan senyum yang memekarkan tawa, tapi senyum yang akan menyemai kerinduan mendalam.

Ren berbalik. Waktu senja hampir habis. Ia harus lekas kembali sebelum Vier mengomel karena barang-barangnya tak dapat masuk koper dengam sendirinya. Mereka pasti masih berpencar di sisi-sisi tersembunyi kamar Vier. Namun, Ren terhenti. Tubuhnya terentak kala sepasang lengan memeluknya dari belakang. Aroma maskulin yang ia kenali sebagai Zeon masuk dalam penciumannya, otomatis memberi berita tentang siapa yang ada di belakan sana.

"Kau sebut ini salam perpisahan?" Zeon berbisik tepat di telinga Ren. Menambah laju degub jantungnya yang kian tak karuan.

"A-apa yang ..." Ren tak melanjutkan perkataannya. Ia tersenyum sebelum melepas lembut lengan Zeon yan tanpa izin memeluknya. Gadis itu berbalik, menengadah menatap wajah Zeon. "Ingin pelukan sebagai salam perpisahan?" Ren merentangkan lengan yang langsung disambut pelukan oleh Zeon. Menenggelamkan Ren dalam sebuah keamanan dalam lingkup lindungan seorang kakak.

Ren bergeming. Membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan hangat Zeon. Pelukan laki-laki itu terasa makin erat. Seakan enggan melepaskan kepergian Ren. Zeon yang bilang, Ren tak hanya mirip Zean yang telah tiada, tapi juga Stellab sang adik tiri yang telah lama menghilang. Tak salah jika Zeon melakukan hal demikian.

"Hei, jangan buat aku iri!" Zuan mendecak. "Aku juga ingin dipeluk!"

Zeon melepaskan pelukannya, lantas tersenyum sinis ke arah saudara kembarnya.

"Ah, ayolah! Aku tak keberatan." Ren nyengir, disambut pelukan antusias Zuan.

"Tubuhmu sangat kecil," ujar Zuan, "seperti memeluk tulang belulang. Sangat tidak hangat."

"Hei!"

"Bercanda."

Zuan membuaka pelukannya. Membiarkan Ren berbicara satu dua kata. Mengomeli Zuan yang telah mengatakan dirinya seperti tulang belulang. Zeon ikut mencibir, hingga mebentuk perdebatan kecil di antara mereka bertiga. Perdebatan yang terasa hangat.

Prince or Princess: MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang