POP: Amorist 2

1.6K 199 85
                                    

Part 3: Fortress On The Rock Beach

Deburan ombak terdengar seolah berusaha membencah karang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deburan ombak terdengar seolah berusaha membencah karang. Menggebrak-gebrak, mengabarkan bahwa badai baru saja surut. Suara angin turut bergemuruh, menyuarakan kabar laut pada bangunan bertembok kokoh yang berdiri dekat pantai. Pepohonan bakau bergoyang terkena hembusannya. Mengikutsertakan dedaunannya yang bergemerisik.

Di balik jendela raksasa sebuah bangunan bedegab--yang berdiri di tepi pantai seolah sebuah benteng pertahanan--seorang pria bersurai tembaga duduk dengan tenang. Pria itu duduk tegak di balik meja raksasa yang penuh tumpukan kertas. Manik hazelnya bergerak, melirik sosok yang berdiri di hadapannya. Seorang laki-laki dengan surai sewarna miliknya.

"Kau menjalankan tugasmu dengan baik." suara berat pria itu memecah keheningan ruangan. Ia menatap laki-laki di hadapannya sebelum kembali berkutat dengan pena dan lembaran kertas yang mulai ia jejali tulisan.

"Seperti yang kau minta, Lord Clarke." sahut laki-laki itu tanpa minat. "Aku mengambil cetak biru dari IETDO. Aku juga sudah mengirim virus ke database mereka. Dan kujamim, kopian proyek di cetak biru itu sudah musnah secara permanen. Badai berhasil membuat pengalihan." dengan hasil kerja yang tampak memuaskan pria di hadapannya, laki-laki itu tak tersenyum. Alih-alih, bibirnya berkedut.

"Seperti biasa, Ansel." pria yang dipanggil Lord Clarke itu mengangkat bibir dan meletakkan penanya perlahan. Sebelum beranjak dari kursinya, dia berkata, "Aku lebih suka kau memanggilku kakak."

Ansel hanya terdiam. Sama sekali tak berminat menanggapi perkataan sang kakak. Maniknya yang sejernih batu amber bergerak mengikuti langkah Alan Clarke, kakaknya. Pria dengan tubuh tegap itu melangkahkan kakinya ke arah jendela raksasa. Pandangannya teralih pada cakrawala senja di lautan luas.

"Ini sudah yang sekian kali kau berhasil menjalankan tugasmu." Alan berkata tanpa menatap adiknya. Maniknya tampak membara terkena sorot matahari senja di luar jendelanya. "Adakah imbalan yang kau inginkan."

Ansel kembali bungkam. Membuat Alan meliriknya sejenak sebelum tersenyum getir. Seolah tahu apa yang betul-betul diinginkan adiknya. Dan hal itu, tak mungkin mampu ia berikan.

"Lyara sudah mati, Ansel. Kau tak bisa mendapatkannya," gumam Alan pelan. Sangat pelan, sama pelannya dengan sebuah bisikan. Namun, Ansel tampak mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Ia melotot dengan amarah yang berkobar dalam matanya. Namun, amarah itu tampaknya tak akan ia luapkan.

"Libur."

Satu kata yang terucap dari bibir Ansel membuat Alan mengernyitkan dahi. "Apa?"

"Aku hanya ingin libur cukup lama dari tugas-tugasku," katanya dengan mata memimcing, "setidaknya itu yang bisa kau berikan padaku." tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, Ansel berbalik dan melenggang pergi.

Alan meringis. Ia memandangi Ansel yang menghilang di balik pintu ganda dengan langkah agak tergesa. Dahinya berkerut. Sedikit, ia mulai paham. Adiknya tengah menyembunyikan sesuatu. Dan dia meminta imbalan libur semata-mata untuk mengawasi barang yang ia sembunyikan. Adiknya itu tak dapat menyembunyikan darinya, tentang barrier kuat yang menyelubungi pulau pribadinya. Seolah berusaha mencegah orang luar masuk dan barang-nya kabur.

Prince or Princess: MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang