Ujian kenaikan sudah memasuki hari-hari akhir. Yang tersisa hanya tiga ujian tertulis dan dua ujian praktik. Ren sendiri sudah menyelesaikan ujian praktik seni berpedang. Karena sudah terbiasa mendapat sabetan pedang Vier, ia mampu bergerak-gerak gesit melawan teman sekelasnya, Erlando Yulian, laki-laki sombong di kelas. Ren merasa puas dengan keberhasilannya menjatuhkan laki-laki itu. Apalagi saat melihat wajahnya ketar-ketir dan berulang kali mengucapkan makian."Kenapa kau cengengesan?" Anne mengambil alih tempat duduk kosong di sebelah Ren. Gadis itu baru saja berguling di tanah lapangan dalam ruangan. Merebah di atas rumput hijau yang basah, hingga punggung dan rambutnya dipenuhi potongan hijau rumput. Ia kalah berduel dengan Sarah. Gadis pendiam yang duduk di belakang kelas. "Kau menertawakanku, ya?"
Ren menggeleng. "Tidak."
Anne mendengkus, lantas meluruskan kakinya. "Dia benar-benar mengejutkan. Kupikir aku akan menang dengan mudah." Matanya menatap ke arah Sarah yang ada di sisi lain lapangan.
"Kau tak boleh meremehkan orang lain," tutur Ren sembali merenggangkan otot-otot jarinya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa mengalahkan Erlando? Maksudku, Aku tahu kemarin-kemarin kau bisa mengalahkan Luca, tapi kau juga bilang dia tak serius."
Ren menelengkan kepala lantas tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Anne.
Yah, dirinya cukup berlatih keras akhir-akhir ini. Maksudnya bukan pedang, tapi dengan matanya. Hampir setiap hari ia bertarung dengan Vier. Di tengah lapangan dengan melawan suhu dingin, atau melompat di antara sofa-sofa ruangan Gael. Mereka berdua sudah terbiasa membuat ruangan ketua OSIS itu berantakan. Membuat buku yang tadinya berbaris rapi di rak kayu berhamburan. Mengubah posisi sofa menjadi tidak simetris, atau membuat karpet beledu di bawah sofa kusut. Setelahnya, Gael akan datang dengan wajah berang. Berseru marah, lantas membuat mereka berdua jadi sepasang pembantu dadakan, memberesi barang-barang yang bahkan tak mereka sentuh.
"Lihat, kau menahan tawa lagi," cetus Anne sembari termanyun.
"Haha, maaf. Hanya teringat sesuatu."
"Oh, ya," kata Anne sembari menegakkan tubuh. Jemarinya sibuk memilin-milin helai rambut yang keluar dari kepangan. "Sebentar lagi ada malam pesta dansa sebagai penutupan semester dua. Dan ada kelas dansa dadakan. Kau bisa berdansa?"
Ren menggeleng. "Tak ada tradisi macam itu di kotaku," tuturnya kemudian.
Menjejak pualam bagus saja baru selepas ia masuk Royal High School, bagaimana mungkin ia pernah berdansa? Yah, walaupun berdansa seorang diri di bawah air hujan pernah ia lakukan. Jika itu masuk kategori dansa.
"Katanya, pasangan dansa juga akan diundi," cetus Anne lagi. Maniknya menimbang-nimbang. "Bagaimana menurutmu?"
"Entahlah, kupikir tak ada salahnya. Kecuali kau punya kekasih dan tak bisa berdansa dengannya," gurau Ren sembari terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince or Princess: MEMORIES
Fantasy-- Second Book -- (𝙼𝚘𝚑𝚘𝚗 𝚖𝚊𝚊𝚏, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚍𝚒𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒. 𝚂𝚊𝚛𝚊𝚝 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚓𝚊𝚊𝚗, 𝚝𝚊𝚝𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗, 𝚙𝚕𝚘𝚝 𝚑𝚘𝚕𝚎, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊) Kehidupan Re...