Bagian 6: Malam Kerinduan

111 13 0
                                    

Desir angin malam seolah meraba kulit gadis yang kerap disapa Dila. Gadis itu agak kedinginan, namun ia sudah terbiasa. Pikirannya melayang, membayangkan peristiwa yang Alif ceritakan secara singkat.

"Yang tadi lo bilang itu beneran?" tanya Dilla yang penasaran.

Alif terdiam. Sorot matanya menatap lurus ke depan, dimana terdapat hamparan langit hitam nan kelam. Dengan bulan dan bintang yang bertaburan.

Sadar tidak mendapat jawaban, Dila menoleh pada Alif, "Kalo ada orang nanya tuh ya dijawab." sindir Dila, kemudian ia memutar bola matanya.

Alif bertampang datar. "Yang mana?" tanyanya dengan tanpa dosa, "Oh itu," sambungnya tidak lama.

"Hm," gumam Dila dengan raut wajah bete.

Salah satu sudut bibir Alif tertarik ke atas, ia tersenyum sekilas bersamaan dengan helaan napas, "Saya lahir di Gaza. Keluarga saya asli berdarah Palestina." ujar Alif.

Dila menautkan kedua alisnya, telinga ia pertajam takut-takut kalau pendengarannya salah. "Palestina?" tanyanya tak menyangka.

Alif mengangguk sekali, "Saat itu tanah kami diserang, hak kami seakan hilang, para tentara itu ingin merebut apa yang menjadi milik dan hak rakyat Palestina." ia menceritakan.

"Emang lo berani?" tanya Dila begitu saja, sungguh pertanyaan anak remaja yang belum dewasa.

"Saya hanya takut pada Allah, dan orang tua saya." jawab Alif dengan santai.

"Kalo itu sih, gue juga." celetuk Dila dengan suara pelan.

Alif tidak mendengar dengan jelas, hanya gumaman samar yang tertangkap indra pendengaran.

"Dila," panggil Alif sembari menengok pada Dila.

"Ya?" sahut gadis itu. Canggung.

Ini jantung kebiasaan banget ya kalo natap mata dia, - batin Dila menggerutu.

"Kalau rumah kamu ini dirampok, kamu bakal lawan rampoknya ga?" tanya Alif.

"Ya jelas lah." jawab Dila langsung.

"Emang ga takut?" tanya Alif lagi.

Dila menghela napas, "Ngapain takut? Sama-sama makan nasi." celotehnya, "Lagian kalo gue takut, keenakan rampoknya, bisa-bisa ludes semua aset keluarga." jawab Dila dengan ciri khasnya.

Ingin sekali rasanya Alif tertawa mendengar perkataan Dila.

"Kalau saya takut menghadapi para tentara itu, mereka akan semakin semena-mena dan berkuasa, berleha-leha tanpa beban." ucap Alif masih dengan pembahasan yang sama.

Raut wajah Dila nampak berpikir, selang beberapa detik, ia mengangguk pertanda bahwa dirinya mulai paham.

"Bagus kalo kamu ngerti." ucap Alif tiba-tiba.

Sontak Dila menoleh, namun ia tidak mendapati Alif yang sedang menatapnya. Lelaki itu justru sedang menengadah, menatap ke arah bulan yang terang benderang di atas sana.

Alif merasa kalau orang tua dan saudara-saudaranya sudah tenang di atas sana, mengawasinya dengan bahagia.

Malam ini, rindu itu kembali bertamu. Mengingatkan Alif pada orang-orang yang telah kembali pada-Nya lebih dulu.

Tanpa sadar, Dila terpaku menatap ke arah bulan. Sungguh indah ciptaan Tuhan. Hatinya terasa tenang dan tentram.

"Ekhm," dehaman cukup keras terdengar.

Bukan Dila ataupun Alif. Kedua orang itu pun meboleh bersamaan dan saling menatap secara kebetulan.

"Ayra,"

AyraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang