#1

12.2K 284 0
                                    

Hai.

Namaku Irrana Lestari. Aku suka buah Jambu, bukan Jeruk. Aku bukan Milea, karena memang tidak pernah mau berusaha jadi dia. Usiaku sama. Masih 2 SMA. Tapi aku bukan Milea, bukan dia yang ibunya mengizinkan Dilan main ke rumah, bukan Milea yang dikasih kado TTS, bukan Milea yang terang-terangan memamerkan cintanya pada seluruh dunia.

Inilah aku dan kisah cintaku, menjalin hubungan serius dengan seorang duda tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih di usiaku yang masih duduk di bangku SMA, membuat ibu selalu khawatir. Ibu takut suatu hari nanti terungkap bahwa ternyata Mas Hasan masih punya istri. Aku memahami betul perasaan ibu, tak ada seorang pun ibu di dunia yang menginginkan anaknya menjadi perusak rumah tangga orang.

"Tapi, Bu, istri Mas Hasan itu sudah meninggal satu tahun yang lalu. Guru-guru di sekolahku juga bilang, kalau Mas Hasan benar-benar duda." aku mengklarifkasi tuduhan ibu.

"Memangnya nggak ada laki-laki lain apa, Ra?" tanya ibu, sambil menuangkan air putih ke dalam gelasku.

"Laki-laki lain bagaimana?" aku menyendoki Nasi Goreng buatannya.

"Ya, selain si Hasan itu, apa nggak ada lagi yang kamu suka?" ibu ikut duduk di sampingku. Memerhatikan asap yang mengepul dari sepiring Nasi Goreng di hadapannya.

"Kenapa harus yang lain, sih, Bu? Lagi pula kan ibu belum pernah bertemu dengan Mas Hasan. Nanti, kalau ibu sudah bertemu dengan dia, baru ibu bisa menyimpulkan apakah dia baik atau sebaliknya."

"Kapan ibu bisa bertemu dengan dia?" aku tercekat. Rasanya jadi nggak enak di tenggorokan.

"Aku tanya dia dulu, ya, Bu."


Ibu mengangguk setuju, walau dari sorot matanya aku tahu ibu ragu. Percakapan di meja makan itu selesai, seiring dengan berjalannya waktu menujukkan pukul tujuh kurang seperempat. Aku pamit pada ibu. Mau berangkat.



"Ra, hati-hati." kata ibu, usai aku mengecup punggung tangannya.

"Iya, Bu." kalimat ibu yang ini rasanya begitu ambigu di telinga. Entah aku harus hati-hati untuk hal yang mana. Tapi urung kutanyakan. Biarlah. Aku memang harus hati-hati dalam segala situasi untuk hal apa pun bukan?

"Ra .... "

Aku menghentikan langkahku kemudian menoleh, "Ya, Bu? Kenapa?"

Aku melihat ibu tertegun sejenak di halaman rumah.

"Ada yang tahu kalian pacaran?" mungkin maksud ibu, apakah guru atau teman-teman di sekolah ada yang tahu aku dan Mas Hasan pacaran.

Aku menggeleng.


"Ibu takut, Ra. Takut kamu jadi bulan-bulanan warga sekolah."

Kujawab kecemasan ibu dengan senyum. Mudah-mudahan tidak ada yang tahu ya, Bu. Aku dan Mas Hasan sedang berusaha menjaga rahasianya. Sejauh ini, sih, masih aman-aman saja.

"Berangkat sekarang, Neng?" suara nyaring di luar pagar datang bersama klakson unik dan bising knalpot yang dimodifikasi.

"Iya, Mang!" aku menyahut dari dalam.

"Ira berangkat ya, Bu. Ibu tenang aja. Jangan mikirin apa-apa."

Ibu bilang iya, tapi cuma formalitas. Nyatanya nggak benar-benar iya. Selepas kepergianku, ibu pasti nggak pernah berhenti memikirkan hal itu. Ah, sekarang giliran aku yang merasa tidak tenang memikirkan bagaimana ibu di rumah.

"Mang Uus pernah jatuh cinta?" kutanya Mang Uus yang lagi fokus nyetir. Dia adalah tetangga kepercayaan ibu yang bertugas antar jemput ke sekolah.

"Ya, pernah atuh, neng. Makanya sekarang mamang punya istri." jawabnya.

"Kalau seandainya dulu hubungan Mang Uus nggak direstuin sama orang tua Mang Uus gimana?" Sang Mio menyelinap di antara para angkot yang mendominasi macetnya jalanan.


"Cinta adalah perjuangan, Neng! Jadi pasti akan terus Mamang perjuangkan."

"Termasuk jika cinta itu harus membuat Mamang melawan orang tua mamang?" jarak menuju sekolah tinggal beberapa meter lagi.

"Hmm ... berat ya, Neng. Mamang belum ngalamin, jadi Mamang nggak tahu harus gimana. Saran Mamang, sih, mending nyari yang dikasih restu ajalah, biar nggak kualat nantinya."

Mendengar responsnya begitu, kemudian aku berpikir, haruskah cintaku berakhir?

"Neng ... Neng ... Udah nyampe!" Mang Uus membuyarkan lamunanku.

"Eh iya, Mang."

"Kenapa, Neng?"

"Nggak, Mang. Nggak apa-apa. Saya masuk dulu, ya."

"Iya, Neng. Mamang pulang dulu. Nanti mau dijemput jam berapa?"

"Nanti saya kasih tahu lagi, Mang."

Habis itu Mang Uus pulang.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang