#10

2.4K 131 3
                                    

Berbagai macam ujian berhasil kulewati meski dalam keadaan patah hati, hasil kelulusan sudah dalam genggaman tangan.
Ini lah saatnya. Saat yang ditunggu. Saat-saat yang paling mendebarkan dimana aku harus menyaksikan ibu bersedih terus-menerus.

“Kamu yakin, Ra?” ibu membantu mengeluarkan Koper dari kamar ke ruang tamu.

“Ira sudah mau berangkat kok ibu masih nanya begitu.”

Aku tahu di balik pertanyaannya, ibu pasti berharap aku berubah pikiran.

“Jangan lupa shalat! Jangan lupa ibu!”

“Iya, Bu.”

Mang Uus sudah menunggu. Mau mengantar ke terminal. Ibu nggak ikut karena nggak tega melihat aku naik Bis. Takut nangis, katanya.

“Ira pamit sekarang, ya, Bu.” aku mencium tangan ibu. Lama. Berharap keselamatan dan keberkahan pada perjalanan ini.

“Kamu sudah pamit sama bapak?”

“Ira udah telpon. Bapak udah ngasih uang buat bekal di sana. Hari ini mau mengantar Ayuni ke Bandung, mau lihat-lihat kampus.”

Ibu mengangguk tanda mengerti.

“Bu, sampai di sana Ira mau langsung cari kos kosan. Ditemenin sama Genta. Genta udah oke.”

“Ya, syukurlah.”

Akhirnya aku berangkat meninggalkan rumah. Membawa 1 koper mini berwarna Ungu, ransel berisi barang penting dalam gendongan, dan satu lagi tas jinjing.

“Neng, kok kuliahnya jauh-jauh amat, sih. Di sini juga kan ada, Neng kuliahan, mah.” kata Mang Uus.

“Cari pengalaman lah, Mang. Bosen di Sukabumi terus.” aku menanggapi.

“Nanti Neng di sana gimana?”

“Gimana apanya?” perjalanan dari rumah ke terminal kira-kira memakan waktu setengah jam. Sekarang sudah jam 12 lewat 15. Penumpang disuruh berkumpul pukul 13.00.

“Ya segalanya atuh, Neng. Makannya, mandinya, neng nanti di sana sendirian. Nggak ada ibu, nggak ada mamang, neng mau hidup gimana. Kalau kata mamang mah mending batalin aja atuh, Neng. Mending di Sukabumi, Sukabumi mah nyaman, banyak sodara, banyak yang bantu kalau ada kesulitan teh.”

Aku terkekeh. Geli sendiri mendengar penuturan ojeg istimewaku ini.

“Ira teh bukan anak kecil lagi atuh, Mang. Gampanglah masalah kayak gitu, mah.”

“Nanti neng pulang ke sini lagi kapan?”

“Ira cuma sebulan kok di Semarang. Mau ngumpulin berkas aja ke kampus, terus cari kos kosan. Sekalian adaptasi dulu sama lingkungan dan orang-orang di sana. Masuk kuliah nya kan masih lama.”

“Oooooh … “ balas Mang Uus.

“Mang, ngebut atuh! Takutnya nggak keburu!”

Pukul 12.50 aku sudah sampai di terminal. Aku bertanya pada penjaga tiket, apakah Bis nya sudah datang, dia bilang belum. Ditunggu saja. Wajar lah kalau telat lima sampai sepuluh menit. Lagi pula kan ini belum jam 1. Aku hanya ingin memastikan saja, takut aku kesiangan.

“Mang, mamang pulang aja. Nggak usah nungguin Ira naik bis. Bis nya masih lama.”

“Tapi kan neng mamang harus menjamin keselamatan neng Ira. Mamang harus tahu kapan neng Ira berangkat.”

“Ih mamang lebay, deh! Udah mamang pulang aja. Nanti kalau udah di bis Ira telfon mamang.”

Meski melalui proses yang cukup alot, akhirnya Mang Uus setuju. Dia pulang membawa linangan air mata di matanya.
Ah, aku jadi sedih.

Aku sengaja mematikan ponsel. Perjalanan menuju Semarang akan memakan waktu yang lama. Walaupun bawa powerbank tapi kemungkinan lowbat itu pasti ada. Kata Genta, di bis tidak disediakan tempat untuk charge hp di masing-masing kursi, paling bisa ikut charge di depan, dekat supirnya. Makanya harus irit pemakaian baterai. Kalau nanti hp ku mati, bagaimana caranya aku bisa berkomunikasi dengan Genta.

Aku berjalan menuju toilet, walaupun sebenarnya nggak pengen-pengen banget kencing. Ah, persiapan. Aku juga beli minum dan makanan ringan lainnya. Kebetulan memang ada yang jualan di sekitar sana.
Bis masih belum datang padahal sudah pukul 13.00. Akhirnya aku memilih menduduki koperku dan bersandar pada tiang. Mau duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan, tapi sudah penuh. Apalagi yang duduk ibu-ibu paruh baya semua, nggak enaklah harus sempit-sempitan. Biar yang muda yang mengalah.

“Irraaaaaa!!!!!” dari jauh aku melihat seseorang dengan dress selutut melambai dan berlari ke arahku.

Aku berdiri, dan mendekat ke arah sumber suara.

“Ira lo jahat banget, sumpah! Lo pergi nggak pamit dulu sama gue.” suara itu langsung meraih badanku pada pelukannya.
Ada bapak juga di sana. Dia cuma senyum dan mengusap kepala kami berdua secara bergantian.

“Lo serius mau ke Semarang?”

Aku mengangguk.

“Kenapa lo ninggalin, gue, Ra?”

Dia melepas pelukan, kudapati pipinya basah semua. Sorot matanya benar-benar melumpuhkan hatiku. Sesaat, aku berpikir untuk membatalkan perjalanan ini.

“Kamu nggak jadi ke Bandung?” aku mencoba membuka mulut.

“Nanti sore. Ayuni bilang pengen ketemu kamu dulu.” bapak menimpali.

“Ra ... gue minta maaf. Gue egois banget selama ini. Gue nggak bisa terima kenyataan harus berbagi papah dengan sahabat gue sendiri. Sekarang gue sadar, Ra. Gue sadar, kalau lo juga punya hak. Sekarang lo bebas mau bawa papah ke mana aja, sesuka hati lo. Lo bebas mau menghabiskan waktu bersama papah berapa lama pun gue nggak akan larang, tapi gue mohon lo jangan pergi.”

“Justru sekarang aku yang harus menitipkan papah ke kamu, Yu! Jaga papah, ya! Kalau bisa, kamu juga harus sering-sering datang ke rumah ibu. Supaya dia nggak kesepian. Aku juga minta maaf, maaf karena pernah mencoba merebut papah dari kamu.”

“Pokoknya lo nggak boleh pergi. Gue nggak akan pergi ke Bandung, kalau lo batalin kepergian lo ke Semarang. Plis, Ra. Kita di sini aja. Membangun keluarga yang baru, membuat semuanya lebih baik lagi.”

Seketika gemuruh bising datang mendekat. Para penumpang langsung merapat ke arah itu. Bis nya sudah datang.

“Aku harus pergi, Ayuni.” aku memeluk dia lagi sebentar, kemudian bergantian memeluk bapak.

Aku nggak peduli ada air mata dan teriakan ‘tolong jangan pergi’ di belakangku. Aku nggak mau jadi ikut-ikutan sedih. Aku memutuskan segera berlari memasuki bis, dan menyaksikan bapak menenangkan Ayuni yang histeris, melalui jendela.

Saat itu, aku kembali meragukan kepergiaan ini. Aku ingin turun, memeluk Ayuni lagi, tapi nggak bisa. Karena bis sudah mulai berjalan keluar terminal.

Selamat tinggal Sukabumi. Semoga engkau selalu ramah pada setiap luka yang bersarang di sudut kota ini. Jadilah pemaaf tanpa harus diminta. Kesedihan tidak pernah selesai, kecuali jika kita memilih untuk mengakhirinya sendiri.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang