Kalau saja perpisahan itu menyenangkan, aku tidak mungkin bisa sekacau ini ketika dia pergi. Kehilangan sesuatu tanpa sebab itu lebih menyakitkan ketimbang ditinggalkan dengan alasan. Aku tidak tahu apa yang harus aku perbaiki. Aku yang bodoh karena merasa selama ini kita baik-baik saja, atau dia yang jahat karena memilih menyembunyikan semuanya?
Tepatnya 17 April, aku memilih jalan hidupku yang baru. Memupuk kembali semangat untuk menjalani hari-hari tanpa Mas Hasan.
Hari ini, tepatnya pukul 17.00 Semarang memanggilku untuk menemuinya.
Ya. Aku diterima.
Aku diterima di Perguruan Tinggi yang aku mau.
Ibu bersujud berterima kasih, memelukku, sekaligus khawatir.
“Semarang itu jauh, Ra.”
“Tapi masih ada di Indonesia, kan, Bu?”
Ibu menarik napasnya dalam-dalam. Tarikan yang terdengar berat ketika diembuskan.
“Bapakmu setuju?”
“Bapak bilang oke kalau ibu oke”
“Kapan kamu berangkat?”
“08 Mei setelah kelulusan di sekolah.”
Ibu mengangguk pelan.
“Ibu masih punya waktu untuk memelukmu lebih lama lagi, kan?”
Aku mengiyakan.
“Selamat putriku! Kamu diterima!”
Kita menangis sama-sama, saling berpelukan. Meski harus meninggalkan ibu. Meski ibu kelihatan masih setengah hati merestui. Dan masih banyak meski meski yang lain, yang membuat diriku takut.
Ibu pamit mau ke kamar sebentar, sementara aku masih terpaku di depan Laptop memerhatikan pengumuman. Rasanya masih nggak bisa percaya.
“Ra, kamu masih ingat dia?” ibu datang dari kamar membawa foto yang terbungkus rapi dengan figura Coklat.
Aku memerhatikan. Foto seseorang sedang duduk bersamaku di ruang tamu.
“Genta?”
“Iya. Ini foto waktu pertama dia datang ke rumah ini. Entah kenapa, ibu suka sekali dengan anak itu. Makanya ibu foto aja terus ibu cetak.”
Ah, ibu bisa saja.
“Ibu baru ingat, bukannya dia juga kuliah di tempat kamu sekarang di terima ya?”
Aku membuka kembali memory yang sudah lama kututup ketika masih bersama Genta. Tepatnya dua tahun berlalu, aku pernah jatuh cinta pada nama itu. Aku kelas 1, dan Genta kelas 3. Ibu menyukai Genta. Satu minggu tanpa kedatangan Genta ke rumah selalu membuat ibu gelisah.
“Apa kalian putus?"”
“Lagi berantem ya?”
“Kok Genta jarang ke sini lagi?”
Ya begitulah ibu dulu memperlakukan Genta.
“Dia lagi fokus ujian, Bu.”
Genta baik. Sangat baik. Kalau kalian bertanya kenapa kami berpisah, itu karena ada sesuatu yang memang harus Genta kejar. Aku memaksa dia untuk melepasku demi impiannya berangkat ke Semarang. Awal-awal kepergiannya, dia selalu merengek bilang rindu dan ingin pulang.
Sampai aku naik kelas 2 akhir, bertemu dengan Mas Hasan, dan melupakan hari-hari bersama Genta.
“Ibu mau telfon Genta. Mau nyuruh dia supaya jagain kamu di sana. Kalau ada dia ibu jadi tenang, Ra.”
“Memang ibu masih nyimpen nomornya?”
“Ah, gampang!”
Ibu bilang gampang karena memang gampang. Rumah Genta nggak jauh dari sini, bisa dikunjungi kapanpun kalau mau. Genta memang lahir di Jawa Tengah, bapaknya orang sana, petani Hidroponik sukses. Dulu Mas Hasan bilang, kalau berjalan lancar, usaha Hidroponik memang sangat menjanjikan. Ah, aku jadi rindu dia lagi.
Tapi Genta pindah ke sini karena ikut ibunya. Dia juga broken home. Tapi broken home nya jelas. Bapaknya ada, ibunya ada, dan keduanya memilih untuk sama-sama tidak menikah lagi.
Sedangkan kakak perempuan Genta memilih tinggal bersama bapaknya di Semarang. Tapi hubungan keduanya baik-baik saja. Yang berubah hanya orang tuanya bukan lagi suami istri. Itu saja.
“Ibu mau ke rumah Genta sekarang.”
“Bu, ya jangan sekarang juga dong. Ini udah mau magrib. Lagian Ira berangkatnya juga masih lama.”
“Ah, pokoknya lebih cepat lebih baik.”
Ibu keras kepala. Akhirnya ya begitu, padahal hari sudah mulai gelap tapi memaksakan untuk menemui rumah Genta.
***
Setelah shalat Isya, aku membantu ibu menyusun kue mana saja yang besok mau diantarkan. Kami berkumpul di ruang Tv.
Smartphoneku berdering, menampilkan nomor tanpa nama menelfon. Ah, aku abaikan saja. Nggak tahu juga dari siapa. Tapi lama-lama deringnya mengganggu sekali. Seakan memaksa ingin dijawab.
“Siapa itu, Ra? Angkat dulu!” ucap ibu risi.
“Nggak ada namanya, Bu. Ya, sudah ya, Ira angkat dulu.” aku pamit mengangkat telponnya di luar saja. Karena di dalam nggak enak sama ibu dan nggak terdengar jelas karena suara Tv.
“Hallo! Assalamualaikum! Siapa ini?”
“Waalaikumsalam. Waah ... yang diterima di Semarang sombong banget, nih. Nggak minta bantuan aku?”
Hmmm... sekarang aku tahu dia siapa.
“Yaaah Genta. Tahu nomorku dari siapa?”
“Lah, kan ibu yang ngasih ke aku.”
Haduh ibu malu-maluin deh. Aku menggerutu dalam hati.
“Tari sehat?” itu panggilan akrab Genta padaku. Irrana Lestari.
“Sehat, Genta.”
“Jadi kapan mau terbang ke sini?” tanyanya.
“Nanti Genta, 8 Mei.”
Genta bilang oke.
“Kalau Tari ke sininya naik bis, nanti Genta jemput di Ungaran.”
“Ungaran itu apa?”
Genta tertawa pendek.
“Eh iya, Tari kan belum tahu ya. Jadi Ungaran itu kayak terminal tapi bukan terminal, sih, ya tempat pemberhentian Bis gitu lah. Nanti pokoknya Tari bilang aja sama sopirnya mau turun di Ungaran. Nanti Genta jemput disana.”
“Iya Genta.”
“Tari diantar ibu, nggak?”
“Ibu, sih, khawatir. Soalnya Tari belum pernah ke Semarang, belum tahu gimana tempatnya. Tapi Tari pengen berangkat sendiri, Genta.”
“Hahaha. Iya nanti Genta bilang ke ibu supaya nggak usah khawatir. Kan ada Genta di sini. Tari naik pesawat Kereta atau Bis?”
Hmm... Pesawat? Ah, pemborosan! Lagi pula ibu nggak akan mengizinkan uangnya terbuang percuma untuk transport. Tapi kalau minta sama bapak pasti dikasih. Ah, tapi aku nggak mau melibatkan bapak lagi. Aku sudah memberi tahu bapak aku akan melanjutkan kuliah di Semarang, bapak setuju, bapak juga siap untuk biayanya. Bapak bilang, dia akan menggantikan kasih sayang yang tak bisa diberikannya dengan materi yang berlimpah. Tapi maaf! Aku rasa nggak ada yang bisa menukar nilai kasih sayang dengan apapun, apalagi uang. Aku hargai niat bapak, tapi bapak juga masih punya Ayuni, punya tanggungan. Kasihan kalau harus aku poroti terus uangnya, walau sebenarnya bapak pasti memberikan.
Aku sudah memaafkan bapak. Sumpah!
“Bis aja deh, Genta.” jawabku akhirnya.
“Kalau gitu Tari naik Bis Tunggal Daya kalau nggak Rajawali. Ongkosnya nggak lebih dari 200.000 kok. Nanti Tari berangkat dari sana jam satu siang, nyampe ke sini paling lambat jam tiga pagi.”
“Jam tiga pagi Genta?” aku kaget.
“Iya.”
“Nggak bisa berangkat pagi aja? Tari takut kalau nyampenya harus dini hari begitu.”
“Nggak ada Tari. Memang begitu jadwalnya kalau Sukabumi-Semarang. Udah, Tari jangan takut apa-apa. Nanti Genta bantu di sini.”
“Hm … makasih Genta.”
“Iya. Genta masih di kampus. Ini mau jalan pulang ke kos. Udah dulu ya Tari, nanti Genta telpon lagi. Kalau ada apa-apa Tari hubungi Genta aja.”
Ah, iya Genta. Makasih. Kamu selalu baik. Dari dulu.
“Siapa?” ibu bertanya ketika aku kembali ke dalam.
“Genta, Bu.”
Ibu langsung berbinar-binar.
“Apa katanya?”
“Ya gitu. Mau bantu-bantu urusan Tari di sana.”
“Memang dasar baik ya dia itu.”
“Ah, ibu mah suka berlebihan kalau menilai Genta.”
“Masih sayang nggak sama Genta?”
Ih ibu apaan sih! Aku mendadak malu ditanya seperti itu. Akhirnya aku memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamar. Mendengarkan lagu-lagu tentang mantan yang entah kenapa sangat ingin aku dengarkan. Sambil berharap, hpku bunyi lagi, dan itu dari Genta.
Eh, kok aku berharap, sih?
Sekelebat bayangan Mas Hasan muncul dalam kepala. Tapi tergantikan oleh penampakkan surat terakhir darinya.
Cukup! Aku nggak mau mengingat apa-apa tentang dia lagi.
Biarkan semua berakhir seperti yang engkau inginkan, Mas!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]
Romance"Celakanya kita tidak bisa berencana kepada siapa kita harus jatuh cinta."