#21

2.2K 112 0
                                    


Pulang dari rumah Genta, aku memilih untuk tidak kembali ke rumah dulu. Pusing rasanya bertemu dengan orang-orang yang tidak memahami apa yang kurasa. Mereka sibuk menasehati tanpa berusaha menjadi diriku.

Aku memutuskan mampir ke Warkow. Tempat langganan semasa SMA dulu. Tempat nongkrong untuk sekadar ngopi dan makan.
Seperti biasa, kupesan Cappucino dingin dan Nasi Goreng Sosis.

Aku duduk di kursi paling pojok. Tempat ini nggak begitu ramai mungkin karena sudah libur sekolah. Biasanya anak sekolah akan mampir ke sini sebelum pulang ke rumahnya.

Tak lama pesanan datang. Rasanya kosong sekali. Sepi sekali. Aku jadi rindu Ayuni, dulu sering mampir ke sini. Sekarang aku lagi malas bertemu dia. Malas bertemu siapa pun yang memihak Mbak Widia.

Di belakangku, aku mendengar suara yang familiar sedang bicara dengan seseorang melalui handphonenya.

"Iya. Sebentar lagi Mas pulang. Emangnya mau ngomong apa, sih?" ucap sang pemilik suara itu.

Kutengok ke belakang, ternyata dia Mas Hasan. Telfon langsung ditutup begitu mata kami bersirobok, dia terpaku menatapku.

Aku menghampiri mejanya. Dia juga makan sendiri.

"Saya mau pulang." dia bersiap mengambil kunci Mobilnya begitu aku dekati.

"Kenapa, sih, Mas? Kenapa harus memaksakan diri menjalani kehidupan dengan orang yang nggak kamu cintai?" kutahan tangannya.

"Setelah pernikahan, cinta bukan lagi sesuatu yang harus dipertanyakan. Semuanya berubah menjadi tanggung jawab. Termasuk bertanggung jawab memertahan komitmen. Cinta atau tidak, itu bukan lagi perkara." jawab Mas Hasan tegas.

"Jujur sama aku, Mas! Kamu masih sayang, kan sama aku?"

Dia diam sejenak.

"Dulu mungkin saya berpikir begitu. Tiap kali saya merindukanmu, saya merasa telah mengkhianati istri saya. Tapi sekarang, melihat kamu menjijikan seperti ini, membuat saya berpikir untuk mantap melanjutkan hidup dengan Widia. Ira yang saya kenal dulu tidak serendah ini. Ira yang membuat saya jatuh cinta, itu adalah Ira yang dewasa, Ira yang selalu menang melawan kesedihannya. Ira yang tegar ketika dihadapkan dengan berbagai masalah. Kamu bukan Ira yang dulu saya kenal, jadi untuk alasan yang mana saya harus menyayangi kamu lagi, hm?"

Aku tertunduk.

"Aku begini karena nggak rela melihat kamu bahagia dengan perempuan lain, Mas!" ucapku lirih.

"Saya sudah punya istri! Tanamkan itu kuat-kuat di kepalamu!" kata Mas Hasan kemudian berlalu.

Iya. Aku tahu kamu sudah punya istri makanya kamu nggak bisa menerimaku lagi. Untuk itu lah aku harus menyingkirkan istrimu, agar kamu bisa kembali lagi.

****

Karena sudah terlalu sore menghabiskan waktu di luar, aku memilih kembali ke rumah meski dengan perasaan nggak karuan.

Kulihat mobil Mas Hasan terparkir di halaman. Aku beregegas masuk. Mudah-mudahan Mas Hasan berubah pikiran dan mau kembali padaku lagi.

Sampai di dalam, kulihat ada bapak dan Ayuni.

"PLAAAK!!" tamparan dari bapak berhasil menyakiti wajahku.

"Fitnah macam apa yang kau tuduhkan?" teriak bapak padaku. Aku belum pernah melihatnya bisa semarah ini.

"Lo nggak hamil, kan, Ra?" Ayuni ikut-ikutan menyerangku.

Kulihat ibu menangis. Dan enggan ikut bicara.

"Jadi Mbak Widia udah cerita?" aku menoleh pada Mas Hasan.

"Saya nggak pernah nyentuh kamu!"

Iya. Dia memang tidak pernah menyentuhku.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang