#7

2.5K 117 2
                                    

Aku meraung-raung setelah membaca isi amplop pemberian ibu. Merobeknya. Mencabik kertas itu hingga menjadi ribuan keping. Menumpahkan air mata pada tinta yang tertera.

“Kenapa ibu nggak bilang kalau Mas Hasan mau pergi?”

“Dia datang tengah malam saat kamu tidur dan menitipkan itu.” ibu memelukku.

“Kenapa semua laki-laki jahat sama aku?????!!!!!!!!” aku masih berseragam. Baru pulang sekolah dan ibu memberikan itu.

“Semoga ini bisa membenarkan ketakutan ibu selama ini, Ra. Sekarang kamu percaya kenapa ibu melarang kamu dekat-dekat dengan Hasan, kan?”

Ibu kembali ke dapur ketika aroma Kue buatannya matang.

Aku membiarkan kekacauan ini merajai hari-hariku berikutnya.

Jika air mata bisa mengembalikan masa lalu, tentu tidak akan ada lagi yang namanya penyesalan.

Kepergian Mas Hasan masih menyisakkan tanya di kepala. Apakah ini ada kaitannya Ayuni? Jika iya, aku akan menghancurkan keluarganya. Aku akan merebut bapak dari mereka. Biar dia tahu, biar dia merasakan, bagaimana sakitnya ditinggalkan.

Lihat saja! Lihat saja!

Aku sudah terlalu lama berdiam diri. Mengalah pada apa yang masih bisa kuperjuangkan. Sekarang tidak lagi, aku tak mau begitu lagi.
Dia sudah menghancurkan hidupku, maka dia pun harus hancur.

***

Hari ini aku dijemput bapak, tadi malam sudah janjian di sekolah. Kebetulan hari ini lagi nggak sibuk. Sebelumnya, aku sudah bilang pada Mang Uus supaya nggak usah jemput, bilang sama ibu aku ada tugas kelompok, dan Mang Uus setuju.

Bapak tidak menunggu di gerbang depan, tentu saja karena takut dilihat Ayuni. Aku nggak mau dia mengacaukan semuanya. Hari ini bapak milikku. Jadi biar untukku saja. Bapak sepakat untuk menjemputku di gerbang belakang yang sepi, jarang dilalui banyak orang.

Aku meminta bapak agar tidak berpenampilan seperti dirinya yang biasa.

“Bapak jangan pakai jas atau kameja, ya. Pakai kaus oblong sama celana panjang aja. Jangan bawa mobil, Ira pengen motor-motoran sama bapak.” ucapku di telepon tadi malam. Aku bicara pelan-pelan karena takut didengar ibu.

Bapak mengabulkannya hari ini. Dia lebih kelihatan seperti bapakku, bukan seperti papahnya Ayuni. Bapak melambaikan tangan ke arahku, aku berjalan menujunya.

“Assalamualaikum.” aku mencium tangan bapak untuk yang pertama kalinya, setelah selama lima tahun terpisah.

“Waalaikumsalam.” bapak membalas salamku.

“Anak bapak sudah pulang, ya. Ayo kita cari makan dulu, yuk. Kamu pasti lapar kan?” kata bapak sambil menyerahkan helm.
“Makan di rumah aja, yuk, Pak. Ibu pasti sudah masak.”

Kulihat bapak termenung. Iya pak. Ira mengerti. Ini nggak mudah untuk kalian. Mari pelan-pelan kita memperbaiki semuanya.
“Mau ya?”

Meski lama, tapi akhirnya bapak mengangguk juga.

Motor melaju menyusuri jalanan yang lumayan lenggang. Aku memeluk bapak di belakang, kita tertawa sepanjang perjalanan.

“Lebih enak pakai angin alami kan, Pak, dari pada pakai AC?”

“Iya. Seger.” bapak menyahut.

Sebentar lagi sampai. Kami belok menuju gang rumahku. Bapak melambatkan laju motornya.

“Ra, bapak nggak yakin ibumu bisa menyambut kehadiran bapak.”

“Optimis, Pak!” aku menyemangati. Beberapa tetangga di sekitar rumah banyak yang memerhatikan kami, apalagi ketika bapak membuka helmnya. Tapi kubiarkan saja. Biarkan mereka menduga-duga sendiri.

“Bu ... ada tamu, nih!” aku mengajak bapak duduk di kursi ruang tamu. Sementara aku memanggil ibu yang lagi sibuk di dapur.

“Ada siapa, sih, Ra? Ibu lagi ribet. Suruh masuk aja.” kata ibu sesampainya aku di dapur.

“Banyak orderan ya, Bu?”

“Ya. Alhamdulillah.”

Aku senyum-senyum yang melihat ibu lagi dasteran dan rambutnya dibiarkan tersanggul acak-acakan.

“Kenapa, sih, Ra?”

“Ibu ... main sama Tepungnya udah dulu, yah. Sekarang mending ibu ganti baju terus dandan yang cantik, deh.” aku meraih tangannya.

“Kamu apaan, sih!” Ibu menepis.

Aku mematikan kompor yang di atasnya terdapat Oven Besar.

“Ayo ih! Ikut aku!”

Bersyukurlah di rumah ini semua kamar ada di belakang, jadi nggak perlu melewati ruang tamu. Dia jadi nggak tahu kalau ada bapak di sana.

“Cepet ya bu!” aku menunggu ibu dari luar pintu kamarnya.

Ibu gesit juga. Tak lama ibu keluar memakai gamis coklat berkerudung.

“Kita ini mau kemana, sih, Ra?”

Aku nggak bisa berhenti senyum dan menuntun tangan ibu menuju ruang tamu.
Di sana sudah ada bapak. Menunduk di kursi.
“Ibu jangan marah, Ira mohon!” aku langsung berlutut di kaki ibu begitu melihat ekspresi ibu yang langsung berubah menjadi tak enak dilihat ketika melihat bapak.

“Kaliaaaan ... sudah bertemu?” ibu gelagapan bertanya.

Bapak mengiyakan.

“Jangan salahkan Ira terus, Ca.” Ica. Sapaan akrab ibu. Marissa lengkapnya.

Ibu mengehela napas dalam-dalam. Dia duduk di sampingku. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ibu cantik sekali. Masih cocok dengan bapak.

“Aku ... mandi dulu, deh.” aku langsung berjingkat berdiri meninggalkan ibu dan bapak di sana.

Mereka butuh waktu untuk saling memaafkan satu sama lain, atau minimal mengenal masa-masa indahnya dulu ketika masih sama-sama. Walau mungkin singkat. Tapi kisah itu ada.
Sesingkat apapun kisah cinta, akan selalu tertanam kesan indah di dalamnya.

Aku benar-benar nggak mau terlibat dengan urusan dua orang dewasa itu. Biarkan mereka berdamai dengan dirinya masing-masing.
Selesai mandi, aku kembali menemui mereka yang sedang bercengkrama. Suasana sudah lumayan mencair. Ibu jadi nggak kaku lagi, walau sebenarnya sisa-sisa dendam itu masih ada. Ah, tapi aku yakin ibu masih cinta. Bapak juga pasti begitu. Walau hanya istri kedua, bukan berarti tidak layak diperlakukan sebagai manusia. Iya kan?

“Bu ... kita makan, yuk!” aku meraih tangan ibu.

“Hah? Eh emhh ...” jawab ibu nggak karuan.

“Yuk, Pak! Makan, yuk!”

Bapak senyum dan mengangguk.

“Ibu ... bawain dulu makanannya ke sini, ya!” ibu berdiri.

“Eeeh, Bu. Nggak usah.”

“Kok nggak usah? Katanya mau makan.”
“Kita makan di luar tapi makan makanan ibu.”

“Maksudnya gimana?”

Aku membawa tenda yang biasa digunakan anak pramuka camping, memasangkannya di halaman rumah. Udara sedang bersahabat, sudah lumayan sejuk.

“Bapak bantu Ira masangin tendanya, ya. Nah, tugas ibu, bawa semua makanannya ke sini.”
Mereka berdua setuju walau tampak ragu-ragu.

Tenda sudah selesai, makanan juga sudah siap. Kami semua masuk ke dalam tenda, dan menikmati lagu Bidadari Tak Bersayap-nya Anji. Tiga menit lamanya kami terbuai. Ada bapak di samping kiri, ibu di kanan, dan makanan di hadapan. Kami sedang duduk. Menikmati sepoi-sepoi angin yang membelai rambut tanpa izin.

“Ini bahagia versi kita, Pak. Ira nggak perlu ke mall, nggak harus bolak-balik nyalon. Begini saja, sudah lebih dari cukup.” aku menyentuh punggung tangan bapak.

“Makasih, Bu. Makasih karena sudah berdamai dengan masa lalu.” aku menyentuh tangan ibu juga.

Ada tetangga lewat, “Rujuk lagi nih bu Ica? Sayang anak, ya, bu?” ucapnya.

“Ya, Bu. Doain!” jawabku penuh semangat.
Moment bahagia itu pun tak kulewatkan tanpa berfoto. Ada beberapa jepretan yang sengaja kukirim ke Whatsapp Ayuni.

“Papahmu aku culik!” aku menuliskan captionnya.

Dia tidak membalas. Ah, yang penting dia sudah melihatnya.

Ini belum apa-apa Ayuni! Aku akan membalas kamu lebih dari ini. Aku akan membuat bapak lebih betah ada di rumah ini. Dia akan jatuh cinta lagi pada ibu dan meninggalkan kalian!
Pelan-pelan, kamu akan merasakan penderitaanku selama ini.

“Bapak pulang dulu.” ucap bapak kemudian.

“Ih, kok, pulang?”

“Iya, dong, Ra. Bapak nggak bisa nginep di sini.” ibu menimpali.

Hmm....

“Tapi besok bapak main lagi, ya!”
Bapak mengangguk.

“Besok ke Pantai, yuk!” ajak bapak.

“Setujuuuu!!!!” aku bersorak riang.

Kulihat ibu diam saja, tapi tidak melakukan penolakan.

“Pulang sekolah bapak jemput lagi, ya! Sekarang bapak pulang dulu. Sudah hampir gelap.”

Dengan sangat terpaksa aku harus merelakan kepergian bapak lagi. Tapi nggak apa-apa. Besok kita mau ketemu.

“Ra, kamu senang?” ibu bertanya begitu sebelum aku masuk ke kamar.

Kujawab pertanyaan ibu dengan pelukan, “Makasih, Bu.”

Kita meneteskan air mata bersamaan.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang