#13

2.1K 114 2
                                    

Semarang lagi cantik waktu Genta jemput aku ke kossan. Sementara aku mandi, dia menunggu di luar. Aku kos di sekitar daerah Gang Cendana, Sekaran. Sedangkan Genta di Kalimasada. Jaraknya cuma lima menit kalau pakai motor.

Waktu aku keluar gerbang kos, Genta lagi duduk di atas motornya. Tampilannya sekarang sedikit berubah. Dulu waktu SMA, Genta terkenal dengan sikap kalem dan keluguannya. Sekarang dia memilih berkameja Coklat kotak-kotak, senada dengan jeans ketat dan Kacamata segi empat membingkai matanya. Mirip seperti Kunto Aji ketika pertama tampil di Tv. Tapi maaf, walaupun bisa nyanyi dia bukan Kunto Aji. Dia adalah Genta. Mantan pacarku di SMA dulu. Mahasiswa Musik semester 4, dan sekarang dia lagi senyum.

":Ojeknya, Neng?" Genta menyodorkan Helm padaku, seolah-olah sedang menyerupai Tukang Ojek.

"Boleh." kusambut helm darinya. Lanjut naik ke atas motor.

"Sudah?" Genta nanya. Maksudnya sudah siap jalan apa belum.

"Udah!" kujawab.

Motor melaju bersama rambut Genta yang goyang-goyang, berkibar-kibar mengikuti kemana arah angin. Jujur, itu benar-benar mengganggu. Dia nggak pakai helm, tapi bawa. Katanya kalau di pake suka bikin sakit kepala. Berat.

"Genta emang betah, ya, rambutnya panjang gini?"

"Kamu tahu tidak? Semua laki-laki memang pernah muda, tapi nggak semuanya pernah gondrong. Hanya beberapa yang berani tampil beda, dan itu layak di apresiasi." itu Genta yang ngomong. Aku memilih diam saja. Sesungguhnya bagiku, tampil gondrong dengan pakaian kasual malah bikin seseorang kelihatan dekil dan tidak terawat. Aku nggak pernah setuju dengan kiblat Fashion yang Genta pilih sekarang, tapi toh dia sudah bukan bagian penting lagi untuk hidupku, atau lebih tepatnya, aku yang sudah tak penting lagi bagi dirinya, jadi nggak punya urusan dengan apapun yang menjadi pilihan dia. Ada satu hal lagi yang nggak berubah dari Genta, dia selalu berusaha belajar menyukai apa yang tidak dia mengerti hanya untuk menyenangkan hatiku.


Seperti hari ini. Dia nggak suka nonton. Padahal menurutku Genta ini sangat romantis dan penyayang, tapi justru sebenarnya dia nggak suka romance. Apapun itu. Baik film atau buku, dia tidak suka yang berbau romance. Aku jadi bingung, sebenarnya dia mencari referensi menjadi orang romantis itu dari mana? Atau dia menciptakan karakter dia sendiri? Entahlah. Apapun yang Genta lakukan, itu selalu sukses membuat aku merasa menjadi orang yang benar-benar cukup. Cukup untuk tidak mencari yang lebih dari Genta. Itu dulu, mungkin sekarang juga masih. Tapi aku berusaha menolak untuk tidak merasakan hal yang serupa.

Genta memacu kecepatan roda duanya, mengejar jam tayang The Gift yang sebentar lagi mulai. Kita mau nonton. Atau lebih tepatnya, aku yang mau nonton tapi Genta ikut. Untuk sekadar mengantar atau numpang tidur di Bioskop. Yang penting kata dia, dia selalu ada di sisiku, meskipun yang aku lakukan bukanlah hal yang dia sukai. Dia mau jagain aku, takut nanti ada copet karena di Bioskop gelap atau takut aku nggak bisa ngabisin Pop Corn nya karena kebanyakan. Tuh, kurang aneh apa ,sih, dia ini?


Di Bioskop, dia yang pesan tiket, dia yang bayar, dia yang paling semangat, seperti dia yang mau nonton saja, padahal nanti di dalam, Genta cuma numpang tidur dan megangin tangan aku biar nggak hilang.

"Sudah telat 10 menit kita. Jadi mari langsung masuk saja."dia bilang begitu padaku.


Kita duduk di barisan D. Aku di nomor 11 dan Genta 12. Filmnya sudah mulai, tapi nggak apa-apa. Lagi pula, aku mau lihat Dion Wiyoko nya saja. Hehehe.

"AyuShita di film ini kok mirip Michelle Ziudith ya, Ta?" aku bicara pada Genta.

"Michelle Ziudith itu siapa?"

"Itu loh yang jadi Caramel di film London Love Story yang pernah aku ceritain ke kamu."

"Cantik nggak? Kalau aku nggak tahu, biasanya orangnya nggak cantik."

"Bentar, aku tunjukkin fotonya."


Baru saja aku merogoh handphone dari dalam tas, Genta menahan tanganku.

"Iya. Kalau bagimu AyuShita di film ini mirip Michelle Ziudith, ya, sudah iya. Anggap saja begitu. Kalau bagimu Michelle Ziudith itu cantik, ya, sudah, iya. Anggap saja begitu. Aku setuju saja denganmu. Kita harus belajar memahami apa yang tidak kita sukai. Kita harus selalu sama." Genta lagi natap aku tapi aku nggak bisa melihat matanya dengan jelas karena dia pakai kacamata. Tapi sungguh, aku mengerti makna yang tersirat di balik mata yang terbingkai itu.

"Kenapa kita harus selalu sama?" kutanya dia.

"Biar serasi." jawab Genta berbisik. Kemudian kembali fokus ke layar di depan.

Ada AyuShita dan Reza Rahardian. Tapi aku jadi nggak fokus. Kepikiran Genta. Kepikiran kata-katanya.

Kita harus selalu sama.

Tapi Genta, sekarang kita sudah tak sama lagi. Oh, bukan sekarang. Tapi sejak dua tahun yang lalu kita sudah tak sama lagi. Bisakah kita mengulangnya? Tapi bagaimana? Bagaimana jika suatu hari nanti kita sudah tidak bisa memahami apa yang tidak kita sukai? Bagaimana kalau nanti kita tidak sama lagi? Bagaimana Genta? Apakah kamu akan pergi? Atau aku yang pergi? Sama seperti akhir cerita di film ini.

Aku nggak mau kehilangan untuk yang kesekian kali. Maka dari itu, aku berusaha tak merasakan apa-apa dengan siapapun, termasuk bersama Genta.


Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang