Ayuni merangkul bahuku sesaat setelah Mas Hasan pergi.
"Lo belum cerita masalah yang ini sama gue, lho, Ra." ucapnya lembut.
Aku membalas pertanyaannya dengan pelukan. Ayuni pasti paham aku sedang tidak bisa diajak bicara.
"Masuk dulu, yuk!" Ayuni membawaku ke kamar kos nya. Dia memberikan air minum. Kita duduk di atas kasurnya yang tanpa ranjang.
"Kamu masih di sini? Kuliah di Bandung nya jadi kan?" sekarang gantian. Aku yang nanya. Berusaha mengalihkan perhatian Ayuni.
"Papah berubah pikiran, Ra." ada sedih tergambar di wajah Ayuni.
"Berubah pikiran gimana?" aku menyeruput air dalam gelas.
"Sejak kepergian lo ke Semarang waktu itu, kita membatalkan kepergian kita ke Bandung. Papah bilang, papah nggak mau kehilangan keduanya. Cukup lo aja yang jauh, gue harus tetap di sini."
Aku menyentuh punggung tangannya, "Maaf."
"Lo, nggak salah. Udah kali nggak apa-apa. Gue seneng masih bisa tinggal di sini."
Dia membalas sentuhan tanganku.
"Jadi sebenarnya ada apa? Kenapa Pak Hasan bisa ada di sini lagi? Dan kalian sebenarnya gimana, sih?"
Kutarik napas dalam-dalam. Tenang, Ira. Jelaskan pelan-pelan.
"Keberangkatanku ke Semarang itu nggak lepas dari campur tangan, Genta."
"Genta mantan lo yang dulu anak Padus itu, kan?"
Aku membenarkan.
"Dia yang bantuin aku selama aku di Semarang."
"Terus?"
"Kita balikan lagi. Waktu itu, aku terbuai sekali dengan semua romantisme yang Genta berikan di Semarang, juga keinginan untuk melupakan Mas Hasan kian menguat ketika aku bersama Genta."
Ayuni masih setia menyimak.
"Aku nerima dia. Aku nggak nyangka kalau Genta akan seserius ini. Kemarin, kebetulan dia juga libur. Dia ikut ke sini. Pulang."
"Terus terus?"
"Dia datang ke rumah, dia ngelamar aku."
"Lamar? Lo kok nggak ngasih tahu gue atau papah?"
"Aku juga nggak tahu. Itu tiba-tiba banget, Yu. Aku pikir dia nggak serius."
"Terus?"
"Dia dateng bareng ibu, Mbak Widia kakaknya, dan Mas Hasan, sebagai pemgganti bapaknya yang berhalangan hadir."
"Tunggu.. tunggu... kenapa Pak Hasan bisa punya hubungan sama Genta, dan gantiin bapaknya sebagai wali?"
Aku membiarkan Ayuni menerka-nerka sendiri.
"Jangan bilang kalau Pak Hasan itu... suami Mbak Widia?"
Aku mengangguk.
"Nggak mungkin, Ra! Lo jangan bercanda, dong!"
"Kamu lihat aku nangis kayak gini, masih bisa bilang bercanda?"
Ayuni terdiam.
"Terus sekarang kalian gimana?"
"Aku mau Mas Hasan nikahin aku."
"Nggak mungkin dong, Ra! Dia udah punya istri!"
"Aku nggak peduli."
"Ra, jangan merebut apa yang sudah jadi milik orang lain."
"Mas Hasan bukan milik orang lain. Dia milik aku, Yu! Mbak Widia yang merebut. Lagi pula pernikahan itu terjadi karena keterpaksaan, aku yakin Mas Hasan nggak bahagia menikahi Mbak Widia. Aku yakin!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]
Romance"Celakanya kita tidak bisa berencana kepada siapa kita harus jatuh cinta."