#24

2.3K 127 4
                                    


"Saya sudah bicara dengan Kepala Sekolah. Kebetulan sekolah masih membutuhkan Guru Biologi."

"Jadi Bapak akan pindah ke sini lagi?"

"Jangan manggil saya bapak, Ira!"

"Terus apa? Mas Hasan lagi? Kalau aku nggak berusaha mengubahnya, lalu mau sampai kapan aku harus seperti ini?"

"Saya nggak suka banyak yang berubah di antara kita."

"Selalu begitu. Kamu selalu bersikap seolah kamu masih menginginkan aku, tapi tak sanggup menolak kehadiran Mbak Widia."

"Maaf." dia melepas pergelangan tanganku.

"Kenapa pindah?"

"Widia kan lagi hamil muda. Dia aku suruh berhenti kerja, dan tinggal di sini sama ibu. Aku nggak bisa jaga dia tiap hari. Supaya dia punya temen juga."

"Segitu sayangnya ya kamu sama Mbak Widia?" kutatap sinis ke arahnya.

"Saya hanya menjalankan tanggung jawab sebagai
seorang suami yang baik, tak ada kaitannya dengan saya mencintai dia atau tidak."

Dari jauh Genta melambai.

"Iraaaaa!!! Ketemu!!!" dia teriak.

"Apa?"

Genta berlari mendekat ke arah aku dan Hasan.

"Ini Dodongkal tea. Sekarang mah mangkalnya pindah. Pantesan atuh dicari enggak ada." dia menyerahkan plastik merah yang di dalamnya terbungkus kertas nasi.

"Jadi kamu nyari ini dulu?"

"Iya. Tari kan pengen itu." kata Genta senyum.

"Kayak di Semarang nggak ada aja." ucap Mas Hasan sinis menatap kami. Khususnya pada Genta.

Genta menggenggam tanganku, seakan ingin menunjukkan pada Mas Hasan, bagaimanapun dia menolak, cinta tetap berpihak pada aku dan Genta.

"Oh ada Mas Hasan?" Genta basa-basi.

"Iya. Pengen ikut nganter Ira."

"Tari! Bukan Ira!" tegas Genta.

"Ya, sudah. Saya pulang, ya. Kalian hati-hati. Baik-baik ya di Semarang." Mas Hasan menepuk pundak Genta, sebagai isyarat agar dia harus mengerti makna di balik kata-katanya.

Kemudian dia benar-benar pergi meninggalkan kami di terminal yang sebentar lagi mau kembali ke Semarang.

"Are you okay?" Genta menyentuh daguku yang menunduk.

"Apa kamu perlu pelukan terakhir dari Mas Hasan?"

"Enggak, Genta. Tari cuma ngerasa sedih aja. Nggak apa-apa, kan?"

Genta senyum dan mengelus kepalaku, "Nggak apa-apa Tari."

Bis sudah datang, seolah de javu. Aku seperti merasakan hari pertama keberangkatanku ke Semarang. Waktu itu sendirian, sekarang sama Genta.

"Tari beneran nggak apa - apa?" Genta memastikan lagi.

"Iya. Oke kok." aku memposisikan dudukku senyaman mungkin.

Bahkan seburuk apapun suasana hatiku, di hadapan Genta aku harus selalu tersenyum.

***

Sebentar lagi ospek. Aku sedang mempersiapkan apa saja yang aku butuhkan bersama teman - teman di kossan yang kebetulan banyak yang satu fakultas denganku. Ketika beres - beres lemari, aku baru menyadari bahwa sepasang kaus kakiku berwarna Peach Polkadot tidak ada. Saat itulah aku menyadari aku meninggalkannya di kossan Kak Mita ketika pertama kali sampai di Semarang waktu lalu.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang