Baru sampai Jatinangor. Kira-kira itu pukul empat sore atau lebih. Hujan turun menghalangi pandangan ke luar. Jendela bis jadi nggak bisa menampakkan pesona di luar sana.
Aku bosan sekali. Tidur sudah, ngemil sudah.
Aku baru sadar sejak berangkat belum mengaktifkan hp. Aku lupa memberi kabar ibu.
Aaah... benar saja... pesan dari ibu banyak sekali.
Aku menelpon ibu tapi nggal diangkat. Akhirnya kukirim pesan saja.
“Maaf, Bu. Tadi hp nya Ira matikan. Takut low. Ini sudah di Jatinangor. Ibu hati-hati, ya, di rumah.”
Kemudian giliran Genta yang menelponku sekarang.
“Tari udah nyampe mana?”
“Baru Jatinangor, Genta. Hujan deras di sini.”
“Jangan lupa berdoa semoga selalu diberi keselamatan.”
“Iya Genta. Ini masih jauh ya?”
“Masih, Tari. Sekarang istirahat dulu aja. Nanti kalau udah jam 11 malem Tari baru standby. Jangan tidur lagi, hp tari aktifkan. Sekarang santai aja dulu.”
“Iya.”
“Sebelum berangkat tadi makan dulu?”
“Iya. Ini juga Tari bawa makanan, kok.”
“Yaudah ya, jangan sampai low hp nya.”
Iya iya Genta. Aku ngerti.
Suasana yang benar-benar mellow dan bikin sendu. Kulirik penumpang di sekitar yang kebanyakan memilih memejamkan matanya.
Kutatap jendela besar di samping kiriku, terbasahi air hujan mengalir di atasnya.
Aku membuka aplikasi musik streaming. Menuliskan nama Ebit G. Ade di sana. Lagu berdendang, sambil kutatap nanar ke arah hujan yang belum mau surut perihnya.
Perjalanan ini
Terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan
Banyak cerita
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan
Seketika aku jadi ingat Ayuni.
Ingat ibu.
Ingat bapak.
Dan juga ...
Ingat Mas Hasan.
Ahhh … sesak sekali jika mengingat kembali apa yang sudah berlalu itu. Jika kalian bertanya mengapa aku tidak mencari tahu las an kenapa Mas Hasan pergi, itu karena aku tahu ada yang lebih penting dari itu. Aku memilih melupakan, ketimbang mencari. Cinta akan menemukan siapa takdirnya. Kami pasti bertemu, jika memang harus bertemu.
***
Nyatanya nggak sampai jam 3 aku sudah bisa mencium-cium bau Ungaran di sekitarku. Isi dalam Bis sudah tak sepadat ketika pertama berangkat. Bangku di dekat Supir kebetulan kosong, aku merapat ke depan agar mempermudah komunikasi.
“Mbak, Ungaran, Mbak?” Kondektur yang berdiri di pintu depan bertanya.
“Ya, Mas. Masih jauh, ya?”
“Oh sebentar lagi, Mbak. Nanti di depan ada lampu merah, nah belok kanan Ungaran, deh. Tapi kita nggak masuk ke sana. Mbak turun di dekat lampu merahnya aja, ya.”
Karena nggak ngerti lagi harus ngomong apa ya aku iya iya aja. Yang penting selamat dan nyampe deh. Genta pasti tahu daerah ini, aku sudah whatssapp dia dimana harus jemput.
“Makasih, Pak.” aku berterima kasih pada sang kondektur karena sudah dibukakan pintu.
Yah.. dan, ini kah saat yang tepat untuk mengatakan Selamat Datang Semarang? Sumpah, deh, rasanya aku langsung jatuh cinta sejak pertama kali menginjakan kaki turun dari bis.
Udaranya benar-benar mendamaikan, walau sebenarnya hatiku lagi nggak damai karena Genta nggak angkat telfonnya dan suasana di sekitarku benar-benar sepi. Ini aku di pinggir jalan banget. Hanya ada lampu jalan yang temaram nan indah di pelupuk mata.
“Genta angkat dong, ih!” aku masih menunggu nada sambung yang belum terhubung itu. Sambil mondar-mandir kebingungan harus apa dan gimana. Aku nggak punya siapa-siapa lagi di sini selain Genta. Apa mungkin Genta ketiduran dan lupa jemput?
“Plis dong jangan menghancurkan hari pertamaku, Genta ihhhh ...” terus kupelototi hp ku berharap ada balasan pesan darinya.
“Hey!” sapaan keras membuatku mendongakan wajah dari layar. Nggak sadar ternyata ada orang di hadapan.
Dan, dia adalah ...
Genta?
Hah?
Apakah dia Genta?
“Ya?” aku menjawab dengan hati-hati. Harus hati-hati. Ini bukan Sukabumi.
“Tari, kan? Kok bengong disitu, sih!”
“Hah? Ini Genta?” aku masih nggak percaya. Penampilannya beda banget.
Dia senyum. Tapi masih sama manisnya dengan Genta dua tahun lalu.
“Gentaaaa ih! Di telfon kok nggak bisa-bisa.” akhirnya aku menyadari kalau dia benar-benar Genta.
“Tadi Genta lagi bawa motor. Maaf.”
“Untung aja nggak ada yang usil. Tari takut tahu Genta, ih. Jam segini berkeliaran.”
“Tari jangan takut Semarang, karena ada Genta di sini.”
Benar. Aku nggak perlu takut Semarang karena ada dia di sini. Aku percaya, dia akan menjagaku lebih dari apa yang aku butuhkan.
“Ngobrolnya nanti aja. Sekarang Tari naik dulu.” ucap Genta yang langsung disetujui olehku.
Aku nggak tahu Genta membawaku kemana. Pokoknya aku ikut dia aja.
“Tari laper atau ngantuk?” di motor, dia bertanya.
“Nggak dua-duanya. Pegel aja badan.”
“Langsung istirahat aja, ya.”
“Kita mau kemana Genta? Nggak mungkin nyari kos kosan jam segini kan? Nggak mungkin juga Tari nginep di kossan Genta.”
Genta ketawa.
“Tari tidur di kossan temen cewek Genta dulu, ya. Besok baru kita lihat-lihat kosan.”
“Boleh?”
“Tadi Genta udah bilang, boleh katanya. Namanya Mita, anak Musik juga. Kayaknya dia nggak tidur, deh. Nungguin Tari datang dulu.”
“Ngerepotin ya.” aku merasa bersalah.
“Nggaklah Tari. Sebelum jadi Kakak tingkat, kita juga pernah kayak Tari. Pernah jadi Maba. Pernah ngerasain gimana senengnya ditolong orang, ketika kita nggak tahu apa-apa.”
Aku pengen bilang makasih tapi cuma tersimpan dalam hati.
Kita berhenti di daerah yang aku nggak tahu apa namanya. Pokoknya daerah kossan putri gitu. Banyak bangunan di pagar tinggi, kata Genta, itu isinya kamar kos semua.
“Bentar, ya, Genta telfon Mita dulu.”
Nggak lama setelah itu, seorang perempuan yang mungkin saja bernama Mita itu keluar. Menghampiri kita.
“Yang ini, Ta?” Perempuan yang kupanggil kakak itu melirik ke arahku. Awalnya kupikir dia ini jutek, ternyata nggak, sih.
“Iya, Mit. Nitip sebentar, ya. Sampe pagi aja. Nggak lama-lama.” jawab Genta.
Aku cuma senyum.
“Iya kali nggak apa-apa. Yuk masuk! Istirahat! Kamu pasti capek, kan?” Kak Mitha merangkul pundakku. Dia ini ramping sekali, dan tingginya jauh di atasku.
“Aku mau beli makanan. Kamu mau makan apa Mit?” Genta nanya kak Mita, tapi nggak nanya aku. Ah, lagian aku nggak laper, sih.
“Nggak usah. Aku udah makan.”
“Oh ya udah, aku jalan dulu. Nitip, ya!”
Kak Mita bilang oke. Genta pergi dan kami masuk. Kak Mita menggembok pintu pagar dan masuk ke kamar nya di nomor 3.
“Ini kamar aku.” katanya memperkenalkan.
Cukup luas, sih, kalau dihuni seorang diri. Isinya ada kasur busa yang muat untuk 1 orang, 1 lemari plastik, 1 kipas angin, 1 dispenser tanpa kaki, 1 rice cooker, terminal listrik, cermin panjang, gantungan baju di belakang pintu, dan barang-barang kak Mita yang lain.
Dia menggelar karpet empuk berbulu abu-abu di samping kasurnya.
“Kamu tidur di kasur. Biar aku yang disini.” katanya.
“Eh, nggak usah, Kak. Biar aku aja yang di karpet.”
“Udah nggak apa-apa. Istirahat aja dulu. Kalau mau minum tinggal ambil, ya.” dia berbaring sambil memainkan ponselnya.
Aku sebenarnya pengen mandi, tapi nggak enak sama penghuni kost yang lain. Mandi jam segini nanti disangka hantu lagi.
“Sebentar ya, aku mau ke depan dulu.” kata kak Mita.
Aku mengiyakan
.
Ketika kak Mita keluar, aku langsung ganti baju.
Dia kembali masuk membawa nasi bungkus.
“Ini dari Genta.”
“Buat aku, kak?”
“Iya, lah.” katanya senyum.
“Oh, makasih.”
Kak Mita ikutan senyum.
“Oh, ya, kak, Genta nya udah pulang lagi?”
“Udah, kok, langsung. Ngasih itu aja.”
“Aku ke kamar mandi dulu, ya, kak.”
“Oh iya. Kamu lurus aja terus belok kiri, itu area kamar mandi semua disitu.”
“Iya kak.”
Aku cuma pipis, dan cuci muka. Oh jadi gini ya rasanya air di Semarang.
Kembali lagi ke kamar, kak Mita lagi tiduran dan kelihatannya lagi chatting. Soalnya kedengaran suara tombol ketak-ketuk gitu.
“Udah?”
“Udah, Kak.” jawabku.
“Ayo dimakan!”
Walau sebenarnya nggak begitu lapar, tapi aku menghargai kebaikan Genta. Aku membuka bungkusan nasi yang dibalut plastik Putih bening itu.
Ah, pantas tadi dia nggak nanya aku mau makan apa. Ternyata Genta masih ingat masakan kesukaanku.
Sekali lagi, makasih banyak Genta.
Beberapa menit berlalu, kulihat Kak Mita sudah terlelap. Aku juga lelah. Tapi kusempatlan membuka notif hpku.
Ibu
Bapak
Ayuni
Mang Uus
Guru bk di sekolah
Semuanya khawatir, apakah aku sudah sampai atau belum. Ah, aku mencintai kalian semua.
“Sudah, aku sudah aman di sini. Sekarang mau tidur. Lumayan masih ada waktu sebelum subuh.”
Hai Semarang. Aku mau tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]
Romance"Celakanya kita tidak bisa berencana kepada siapa kita harus jatuh cinta."