#22

2.2K 117 0
                                    


Tepat setelah kejadian peluk-pelukan yang menyedihkan itu, malamnya aku berniat untuk minta maaf pada Mbak Widia, mengakui bahwa aku tidak hamil. Bahwa suaminya memang lelaki yang baik. Tapi urung kulakukan, ketika kudengar tawa hangat di ruang tamu rumahnya.

Jam 7 malam, aku mendatangi rumah Genta. Pintu rumahnya terbuka, badanku gemetar sekali, akhirnya kakiku hanya bisa terpaku di depan jendela saja. Saat itulah aku menyadari di ruang tamu sedang ada orang.

Melalui tirai tipis putih yang melapisi jendela rumahnya, aku melihat Mas Hasan menempelkan telinganya di perut Mbak Widia, kulihat Mbak Widia tertawa dan mengelus rambut Mas Hasan lembut.

Aku setia menikmati pemandangan menyakitkan itu. Ingin beranjak dari sana tapi tak bisa. Benar-benar tak bisa.

"Kalau anaknya laki-laki Mas yang kasih nama ya." samar-samar kudengar suara Mas Hasan.

Pelan-pelan, dalam hening yang tak disadari siapapun, sebuah hati bergejolak di sini. Menumpahkan kekesalan melalui butiran bening di pipi.

"Kalau perempuan, Widia yang kasih, ya." balas Mbak Widia kemudian.

Ya Tuhan. Nyeri sekali rasanya.

"Ri..." panggil sebuah nama menohok bahuku.

Aku terkejut kemudian menoleh.

"Eh.. Genta.." aku menghapus air mataku.

"Ngapain?"

"Nyari Genta."

"Kok nggak masuk aja?" tanya Genta.

Aku tidak menjawab.

Sekilas, Genta bisa paham.

"Oh iya." jawabnya setelah melirik ke arah jendela.

"Tadi abis dari warung."

"Iya. Nggak apa-apa, Genta." kujawab.

"Ngobrol di sana, mau?" Genta menunjuk  ayunan yang terbuat dari Ban Mobil bekas yang menggantung kuat pada pohon di halaman rumahnya.

Aku setuju.

Aku duduk di ayunan sementara Genta mendorong pelan-pelan dari belakang. Udaranya benar-benar bersih sekali. Malam hari yang dingin, dan menyesakkan dada.

"Udah makan?" dorongan pertama dari tangannya berhasil mengayunkan tubuhku.

"Udah."

"Mau lagi?"

"Nggak."

"Nyari jajan atuh yuk!"

"Jajan apa?" kutanya.

"Apa aja yang Tari mau. Cilok, Seblak, Bakso, Sosis bakar. Yaaaaa yang murah meriah aja biar Genta bisa beliin." Genta senyum. Tapi aku tidak melihatnya senyum karena posisi dia ada di belakangku. Tapi aku yakin, dia lagi senyum.

"Dimaafin Genta aja udah bikin Tari senang." kubuang tatapan ke langit lepas. Menghitung jumlah Bintang yang tak mungkin terhitung. Hampa sekali rasanya. Kuhempas napas berkali-kali, mengusir lelah di jiwa atas pengharapan yang tak mungkin bisa terpenuhi ini.

"Udaaah..." Genta menyentuh kedua bahuku. Menghentikan gerakan ayunan. Lalu pindah ke depan. Dia sekarang ada di hadapanku, lagi jongkok.

"Tahu nggak?" Genta menaruh tangannya di kedua lututku.

Angin meniup dedaunan yang sudah gugur di tanah menjadi berpindah tempat. Juga berhasil menyibakkan rambutku, memamerkan bentuk leher yang nggak terlalu jenjang. Lampu di area ayunan ini nggak begitu mendapat penerangan, letaknya agak ke samping, hanya mengandalkan lampu utama di teras depan rumahnya saja.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang