Rasa ini sungguh tak wajar, namun kuingin tetap bersama dia untuk selamanya …
Penggalan lirik lagu The Virgin bergema di seluruh dinding. Yogya Food Court sepert ibiasa selalu ramai, dan hanya menyisakan beberapa kursi untuk di duduki. Ayuni sedang cantik di mejanya, saat aku melambai keluar dari lift. Dress Maroon selutut dilengkapi tali pita mengikat ke belakang sukses bikin aku melongo. Dia cantik banget. Dipadukan dengan Platshoes Hitam dengan tali yang mengikat sampai ke atas mata kaki, rambut ombre menjuntai ke bahu, tak ketinggalan Softlens Biru Tua semakin mempertajam sorot matanya.
“Cantik banget, nih!” aku duduk di hadapannya. Dia senyum-senyum tersipu.
“Kok datang sendiri? Pak Hasan, mana?”
“Ikut, kok! Tadi ke toilet dulu. Terus aku disuruh ke sini duluan, takut kamu nunggunya lama.” tak lama dari aku duduk, Mas Hasan menghampiri kami. Ayuni sengaja memilih tempat dekat dengan lift agar mudah ditemukan.
“Lagi ngobrol apa, nih?” tanya Mas Hasan basa-basi, kemudian duduk di samping kiriku.
“Ini, nih, Pak! Katanya Ira pengen beli Tas yang lagi diskon di Mall.” celetuk Ayuni tiba-tiba.
“Ih, Ayu apaan sih!” aku membela diri dari tuduhan itu. Tapi nggak fitnah-fitnah banget, sih. Aku memang ingin membeli Tas itu, tapi malu lah kalau harus Mas Hasan tahu.
Mas Hasan menoleh, “Kenapa nggak bilang sama saya?”
“Enggak, kok. Ayuni ngarang, Mas!”
“Beneran tahu, Pak! Udah dari seminggu yang lalu dia pengen beli Tas itu.”
“Enggak, ih, Ayuni. Itu mah bercanda!” aku tetap berusaha mengelak.
“Ya, sudah. Selesai makan, nanti kita ke sana, ya!”
“Mas, nggak usah!”
Mas Hasan tersenyum, “Lain kali, kalau mau apa-apa bilang aja langsung sama saya.” sekarang dia lagi menyentuh rambutku.
“Haduuu … romantis banget sih pasangan ini. Jadi Kambing Conge, deh, gue.” protes Ayuni nggak serius.
“Kita nggak pesan makanan?” tanyaku.
“Nanti dulu deh. Tunggu 1 orang lagi.” jawab Ayuni. Dia melirik jam di pergelangan tangannya.
“Memangnya masih menunggu siapa?" Mas Hasan kepo juga hm.
Ayuni senyum lagi, “Eh, orangnya udah ada di depan. Sebentar ya, aku ke bawah dulu.” dia memasukkan Iphone terbarunya ke dalam Tas, kemudian berlalu meninggalkan kami.
“Cantik, ya, dia.” aku menatap rambut pirang Ayuni yang bergoyang-goyang mengikuti langkah pemiliknya.
“Kamu juga cantik.” Mas Hasan menatapku.
“Cantikkan dia lah! Dia kan mau apa aja tinggal beli. Punya bapak yang tanggung jawab. Nggak kayak aku.” amarah itu kini tak lagi nyaring bunyinya, berubah menjadi desakkan kekecewaan yang keluar melalui celah-celah mataku.
“Ssst … hey! Kamu ini bicara apa, sih, Ra ...” Mas Hasan meraih tanganku erat-erat.
“Kamu mau apa? Nanti biar saya yang beliin.”’
Aku menggeleng pelan.
“Aku mau bapak. Apa kamu bisa membelinya untukku?”
Akhirnya kami sama-sama diam. Kesedihan itu terlupakan ketika Ayuni datang menggandeng seorang pria dengan tinggi badan yang jauh darinya. Bagus! Ini namanya saling melengkapi.
“Hai semuanya. Kenalin, ini Markho. Pacar baruku. Dia baru datang dari Bandung. Kita LDR.” Ayuni memperkenalkan kami secara bergantian.
“Nah, sayang, yang ini namanya Ira. Dia sahabat aku. Kalau yang itu pacarnya.” jelas Ayuni bicara pada Markho.
“Hallo.” kami berjabat tangan lalu duduk dalam satu meja yang sama.
Pesanan sedang diproses, sembari menunggu, kita ngobrol ringan seputar kisah Ayuni dan Markho.
“Jadi kalian ini ketemunya di Facebook? Terus ini pertemuan pertama kalian dong?” aku menanggapi.
Pesanan sudah datang. Makanannya kami sepakat memesan Ayam Geprek Level 8. Minumnya, seperti biasa, aku Cappucino Dingin, Mas Hasan Lemon Tea. Ayuni dan Markho Green Tea.
“Ya gitu deh. Tapi nggak mengecewakan, sih. Dia ganteng sama kayak di foto.” Ayuni senyum-senyum. Ya ampun ini anak kelihatan senengnya.
Berbeda dengan Ayuni, Markho justru terkesan lebih pasif dan nggak banyak gerak. Mungkin karena baru pertama ketemu jadi canggung kali ya.
“Jadi karena ini kamu ngajak kita ke sini? Pamer pacar baru?” Mas Hasan menyeruput Lemon Tea nya.
“Nggak cuma ini, sih. Jadi, 3 hari lagi kan gue ulang tahun. Gue mau mengundang kalian semua untuk hadir ke rumah gue yang di Parung Kuda.”
Jadi sebenarnya Ayuni ini tinggal di Jakarta, tapi ibunya orang Parung Kuda, mereka pindah ketika lulus ke Parung Kuda. Karena sejak kecil biasa dimanja, dia ingin hidup lebih mandiri. Akhirnya dia memutuskan untuk ngekost di sekitar SMA.
“Kalau saya ya terserah Ira.” kata Mas Hasan.
“Aku pasti datang, dong!” jawabku.
“Kamu, sayang?” Ayuni bertanya pada Markho.
“Iya sayang aku datang.”
Selesai dari tempat ini, Ayuni dan Markho pamit pergi ke Gedung Juang, katanya ada pertunjukkan Teater entah apa. Dia sengaja sudah beli tiket untuk si Markho itu.
“Oh jadi sekarang nggak ngajak aku, nih?”
“Iih nggak gitu. Jalan sama lo kan udah sering. Gue juga pengen quality time sama pacar gue lah!” Ayuni tertawa. Aku juga. Ya, sudah, lah. Asal dia senang dan bisa menjaga diri, itu sudah cukup.
Sementara kami memilih mengunjungi Mall yang tadi dibicarakan. Mencari Tas yang menjadi incaranku selama ini.
Oh sialan.
Sudah dipinang orang lain sepertinya.
“Cari yang lain aja, yuk!” Mas Hasan menuntun tanganku berkeliling mencari model lain yang sekiranya aku suka.
“Ini aja.” aku berhasil menemukan pilihanku.
“Kita cari Sepatu ya, sekarang.” ucap Mas Hasan. “Kamu suka highhells, platshoes, atau Snickers?”
“Mas, kamu apaan, sih?” aku berusaha melarikan diri dari ajakannya.
“Maaf selama ini saya nggak begitu paham kebutuhan perempuan. Sekarang saya mulai menyadarinya, izinkan saya untuk membuat kamu bahagia.”
“Tanpa ini pun aku udah bahagia.”
“Saya mencintai kamu, oleh sebab itu semua hal yang berkaitan dengan kecantikanmu adalah tanggung jawab saya. Selagi penghasilan saya cukup, apapun yang kamu minta, akan saya kabulkan.”
Detik itu, aku merasa benar-benar menjadi seorang wanita yang sangat luar biasa mengagumkan. Haruskah aku mencari keberadaan bapak setelah aku menemukan Hasan? Masih kah bapak memegang peranan penting dalam hidup ini? Toh aku sudah menemukan laki-laki yang bisa memperlakukanku lebih baik dari bapak.
“Jadi?” Mas Hasan membuyarkan lamunanku. “Kalau mengandalkan penghasilan utama tentu tidak akan cukup. Ini hasil usaha Hidroponik saya, Alhamdulillah sedang lancar-lancarnya.” dia senyum.
“Jangan bercanda!”
“Saya serius! Saya tidak pernah main-main, jika itu tentang kamu.”
Aku terkesima seketika.
“Jadi kemana kita sekarang? Kiri? Kanan? Atau Lantai 3?”
Hari itu kami lalui dengan penuh tawa dan romantika yang mudah-mudahan tak berkesudahan. Meski ragu semua akan bertahan lama apabila aku ingat ibu.
Ah!
Bisakah aku jatuh cinta tanpa harus merasa khawatir? Khawatir dengan sikap ibu padanya, lebih jauh dari itu khawatir bagaimana jika nanti aku hidup dengannya. Bisakah aku mencintainya dengan tenang? Setenang cinta yang dia berikan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]
Romance"Celakanya kita tidak bisa berencana kepada siapa kita harus jatuh cinta."