Mas Hasan menepati janjinya menemuiku di Kedai Apih. Sebuah tempat makan langganan kami di masa SMA dulu. Cikembar gerimis. Jalanan tampak lebih pekat warnanya oleh tetesan air langit yang tak begitu deras namun lumayan licin.Dua lilin cantik mengelilingi meja kami. Dia datang dengan rambutnya yang klimis terkena cipratan gerimis.
"Kehujanan?" kutanya dia.
"Dari rumah sih enggak. Tadi waktu mau nyampe basah dikit." jawabnya ramah.
"Ooh .. "
"Sudah pesan makan?"
"Sudah. Sop Iga Sapi + Kopi Luwak, kan?"
"Masih ingat?"
Aku cuma senyum. Bagaimana mungkin aku bisa lupa, setiap makan denganku selalu itu yang dia pesan.
"Ada apa? Kok mendadak pulang dan minta ketemu?"
Dadaku berdebar. Ingat permintaan Genta di Bis kemarin. Katanya biar aku saja yang bicara ke Mas Hasan soal Mbak Widia. Biar lebih enak.
Aku sebenarnya nggak setuju. Tapi Genta keras kepala nggak mau bilang. Nggak enak katanya, kan biar gimanapun Mbak Widia itu kakaknya Genta.
Aku menghargai itu.
"Ra?"
"Ada yang mau aku obrolkan sama kamu."
"Tentang apa?"
Kemudian pesanan datang.
"Makan dulu." kataku.
Kami menghabiskan makan dalam diam. Bingung juga harus mulai ini dari mana. Tukang bubur di samping Puskesmas baru saja mangkal. Tak lama, orang-orang mulai berdatangan membeli.
"Mau beli?" Mas Hasan membuyarkan tatapanku.
"Nggak."
"Kok dilihatin terus?"
"Nggak ada undang-undang yang mengatur larangan memerhatikan tukang bubur, kan?"
"Undang-undang cemburu." jawab Mas Hasan.
"Kan cuma tukang bubur."
"Tukang buburnya laki-laki."
"Lagian udah tua. Sudah punya istri."
Beberapa detik kemudian aku menyesal sudah berkata begitu.
"Punya istri bukan jaminan bisa berhenti melirik wanita lain." pegangan sendok di jemariku terlepas.
"Seperti kamu?"
"Jauh dari kamu itu menyiksa. Tapi bertemu denganmu itu jauh lebih menyiksa. Setiap kali merindukanmu, saya merasa bersalah pada Tuhan. Pada Widia, termasuk pada diri saya sendiri."
"Kalau Mbak Widia tidak hamil apa kamu akan meninggalkan dia dan kembali lagi sama aku?"
"Saya nggak tahu. Tapi mungkin akan sedikit membuka peluang ke arah sana, walau sebenarnya saya membenci perceraian."
"Kalau anak Mbak Widia itu bukan anak kamu. Gimana?"
Mas Hasan terperanjat. Dia menatapku sekarang.
"Saya yang menyentuh dia. Pasti saya ayah dari anak itu."
"Kalau dia hamil sebelum kamu menyentuhnya?"
"Ra, apa sih?"
"Dia bukan anakmu, Mas!"
Mas Hasan tertawa, tapi terkesan dipaksakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]
Romance"Celakanya kita tidak bisa berencana kepada siapa kita harus jatuh cinta."