#8

2.3K 124 0
                                    

Di depan sudah ada mobil bapak dan ibu. Menungguku. Kami mau ke pantai. Ibu duduk di belakang, aku di depan, di samping bapak.
Baru saja mobil berjalan, seseorang merentangkan tangannya, menghalangi jalan kami.

Ayuni!

Dia memukul-mukul jendela mobil. Memaksa kami keluar.

“Buka! Kalian nggak bisa bahagia di atas penderitaan nyokap gue! Bukaaaaa!!!!!”

Namaku Irrana. Aku adalah diriku. Aku tidak bisa menjalma menjadi orang lain. Aku yang lemah, aku yang pasrah, aku yang selalu mengalah pada keadaan. Aku bukan Ayuni. Bukan dia yang bisa menghalalkan segala cara agar apa yang dia inginkan bisa terwujud.
Perjalanan kami menuju pantai pun harus terpaksa dibatalkan. Ayuni mengamuk di depan mobil, membuat orang-orang di sekitar kami membicarakannya. Dia tidak pernah merasa malu selagi dia ingin melakukannya.
Bapak membawa Ayuni pulang ke Parung Kuda lagi bersama mobilnya. Aku nggak tahu Ayuni sakit sungguhan atau hanya menarik perhatian bapak, usai mengamuk, dia tampak lesu dan pingsan.

Aku dan ibu akhirnya memilih turun dan pulang ke rumah menggunakan angkutan umum.

“Kamu kok nggak bilang, sih, Ra, kalau Ayuni ini anak bapakmu.”

“Maaf ya, Bu. Ira ketemu bapak di rumah Ayuni waktu dia ulang tahun.”

“Kamu hebat, loh, Ra.”

“Hebat apa, Bu?”

“Kamu ini lebih tegar dari Ayuni ternyata. Bapakmu pasti bangga.”

Aku senyum. Aku tahu aku tidak bisa memaksa bapak agar tetap bersamaku. Aku tidak bisa memaksa bapak untuk memilih siapa anak yang dia sayangi. Perihal darah daging memang tidak bisa dibeda-bedakan, terlepas dari apakah bapak lebih mencintai ibuku atau ibunya Ayuni, darah daging tetaplah darah daging.

“Aku berusaha untuk lebih hebat dari dia, Bu.”

Angkot berhenti. Kami turun dan berjalan kaki dari gang sampai ke rumah.

“Mukanya jangan ditekuk begitu, Ra.” ibu sedang membuka kunci rumah.

“Capek aja, Bu.”

“Ke pantainya kan bisa lain kali.” pintu sudah terbuka.

“Iya lain kali. Lain kali Ayuni akan datang lagi dan mengacaukan semuanya.” aku menerobos masuk.

“Ra ...” ibu mengejarku masuk.

“Ibu benar, harusnya dari awal aku nggak perlu mencari bapak lagi. Dia nggak mungkin memilih kita.”

Aku memilih masuk ke kamar. Mendamaikan hati, dan menenangkan pikiran. Aku nggak mau hidup seperti ini terus. Aku nggak mau terbayangi oleh kepergian orang yang kusayang.

Jika memang bapak dan Mas Hasan harus pergi ya pergilah. Silakan. Yang harus kulakukan sekarang adalah mengikhlaskan semuanya agar berlalu.

***

Ini adalah hari dibukanya pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penilaian diambil melalui nilai raport dan indeks prestasi sekolah. Tidak semua siswa mendapat kesempatan yang sama, hanya yang rata-rata nilai raport yang memenuhi saja yang mendapat jatah mendaftar.

Aku menemui ruang BK. Meski ragu-ragu dan takut, tapi aku harus melakukannya. Nggak boleh ditunda-tunda. Aku harus tahu apakah namaku masuk sebagai kandidat siswa terpilih.

Dan yeah!

Jawabannya iya.

Aku berhak mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri yang aku mau. Maximal mendaftar ke dua perguruan tinggi dengan 3 jurusan.
Yang pertama, aku memilih salah satu perguruan tinggi di daerah Semarang, Jawa Tengah.

Padahal aku nggak punya siapa-siapa di sana. Nggak ada saudara, sahabat, atau siapa-siapa. Entah kenapa aku ingin melarikan diri ke sana. Ingin pergi jauh dari sini.

Melupakan bapak.

Melupakan Hasan.

Mereka mimpi burukku.

Yang kedua, aku memilih perguruan tinggi di daerah Karawang, masih Jawa Barat, sih.
Ya ... perihal nanti aku diterima dimana biar jadi urusan Tuhan saja. Apapun hasilnya, pasti itu yang terbaik.

Disaat aku sibuk-sibuknya memersiapkan rencana masa depan, Ayuni santai-santai saja dengan teman barunya.

Iya.

Sekarang dia bergabung bersama Loly cees. Kumpulan cewek high class yang kerjaannya shopping melulu. Padahal setahuku, orang tua si Loly ini buruh biasa, tapi gayanya benar-benar selangit. Oh sorry, aku tidak bermaksud untuk mengomentari kehidupan orang lain, yang aku sorot di sini adalah kok mau maunya sih si Ayuni berteman dengan mereka? Bukankah dulu Ayuni bilang padaku bahwa dia paling anti dengan Loly dan sebangsanya itu.

Oh aku lupa, mungkin nggak ada lagi orang yang mau menerima Ayuni kecuali si Loly itu. Dasar penjilat! Aku khawatir Loly akan memanfaatkan Ayuni, memanfaatkan uang bapak.

“Kamu nggak ke ruang BK?” aku tahu aku marah pada Ayuni, tapi aku nggak bisa berhenti peduli padanya.

Dia sedang berkumpul di depan kelas.

“Ngapain?” tanyanya cuek.

“Ngurusin kuliah.”

“Gue bisa sendiri. Papah pasti udah mempersiapkan semuanya, jadi ya, udalah, nggak usah ribet-ribet.”

Tadinya aku ingin melawan, tapi aku nggak mau seisi kelas jadi tahu kalau aku dan Ayuni satu ayah, makanya kutahan dulu amarah yang menyulut di dada ini.

Teman-teman juga bertanya kenapa aku dan Ayuni sekarang jadi kelihatan jaga jarak, padahal dulu sudah layaknya friendship goals, ikon persahabatan remaja yang merajai sekolah.

Ah, aku cuma senyum kalau ditanya begitu. Semua orang pasti akan berubah. Ada saat dimana kita merasa jenuh berteman dengan orang yang sama. Iya kan? Mungkin iya. Tapi tidak bagiku. Aku masih ingin Ayuni ada di sampingku lagi.

“Katanya kamu pengen masuk ITB.” aku bicara lagi. Lagian kalau dipikir-pikir aku itu kok mau-maunya sih ngomong sama Ayuni di depan teman-teman barunya ini.

“Kalau gue mau masuk ITB, terus apa hubungannya sama, lo?”

“Ya ... kamu persiapan dong. Belajar apa gitu, konsultasi sama pihak BK lah atau apa.”
Ayuni berdiri, “Heh! Lo kok ribet banget sih jadi orang! Urus aja urusan lo sendiri!” dia menabrak badanku dengan bahunya kemudian masuk ke kelas.

Heuh! Aku menyesal sudah bersikap baik padanya.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang