Jembatan Westminster terlihat begitu megah dan tua. Aliran air dari Sungai Thames yang ada di bawahnya nampak sedikit bergejolak, memercik, dan berkilauan oleh sinar matahari yang jatuh dari sisi Barat. Orang-orang terlihat berlalu-lalang bersama berbagai kendaraan yang hilir-mudik, membuat kota London selalu ramai dengan manusia.
Big Ben terlihat begitu angkuh saat Peter berjalan agak sedikit cepat ke arahnya. Menara jam yang berdiri sejak pertengahan abad ke sembilan belas, terasa begitu menantang segala yang modern. Bersama dengan bekas Istana Westminster yang indah, yang berada persis di sebelahnya, yang kedua-duanya bergaya ghotik Victoria.
Peter memandang sejenak kemilau sungai yang mengarah ke jembatan Lambeth dari atas jembatan Westminster yang masih begitu kokoh. Membayangkan seorang Turner yang tengah membuat sketsa dengan cepat dan para impresionis dari Paris, yang datang berkunjung melihat keindahan sungai yang membelah London dan dengan melukisnya dengan indah.
Pissarro dan Monet pernah berada di sekitar aliran sungai yang ada di depannya sekarang ini. Begitu juga para pelukis aliran Barbizon semisal Boudin dan Daubigny. Bahkan mungkin Rubens dan van Dyck, pernah menikmati sungai yang begitu panjang dan terkesan agung ini. Dan mungkin juga van Gogh, yang sewaktu muda berjalan di tepian sungai, menikmati apa pun yang dilihat dan dirasakannya. Sebelum cinta yang tak terbalas menghancurkan kehidupannya dengan begitu hebat.
Peter memandang ke arah lainnya, melihat jauh ke seberang, di mana sungai yang begitu kuno ini, sebuah tempat di mana Kekaisaran Romawi memilih mendirikan London, telah menjadi saksi berbagai seniman besar datang dan pergi.
Turner melukis jembatan Walton dengan begitu luar biasa dan sangat ambisius. Sedangkan jembatan Waterloo, yang tak jauh dari tempatnya sekarang berdiri, Turner lukis dengan sangat samar, terkaburkan asap pabrik yang mengepung kota dari segala sisi. Sebuah jembatan yang juga dilukis oleh John Constable, saingan Turner yang tak kalah ambisiusnya.
Monet sendiri melukis jembatan Westminster dan gedung parlemen dari kejauhan dengan begitu lembut dan berkabut. Pemandangan yang jauh lebih bercahaya dari pada perahu-perahu dan jembatan yang Daubigny lukis. Dan Whistler yang melukis Thames dalam malam hari dengan warna biru bercampur kemerlip emas. Atau Grimshaw dengan siluet kapal-kapalnya yang kehijau-hijauan.
Sungai Thames yang berkelok-kelok begitu panjang yang alirannnya berada di selatan Inggris dan berakhir di laut Utara. Membelah kota London dengan begitu banyaknya peristiwa.
Dahulu, Julius Caesar menyeberangi sungai ini dan menyebutnya sebagai Temesis. Sebuah nama yang berarti gelap yang memiliki akar kata dari Keltik. Sampai peperangan di abad kedua puluh yang menyimpan banyaknya bom di dasar sungai.
Seekor ikan terlihat di permukaan air saat Peter menatap agak lekat ke bawah, memikirkan sungai yang pernah sekarat di pertengahan abad setelah perang. Sungai yang kini kembali berdenyut dengan banyaknya kehidupan dan juga, plastik yang memenuhi sungai dengan segala macam dampaknya bagi kehidupan yang baru berdatangan.
Sungat Thames adalah saksi bagi para seniman besar datang dan pergi. Dengan kebanggaan dan kekecewaan mereka. Dengan perasaan muda dan kelelahan di masa tua. Atau, sebuah tempat bagi para pelarian di saat perang berkecamuk.
Dari mulai Claude de John di abad ketujuh belas dengan jembatan tua London-nya yang terlihat biru lembut. Jan Griffier yang melukiskan begitu indah sungai Thames secara detail dengan arah pandang yang menakjubkan. Atau kanvas-kanvas Canaletto yang menggambarkan London dan lanskap di sekitar sungai, terasa begitu nyata dan langsung.
Seseorang bisa menambahkan daftar agak panjang para seniman yang melukis sungai ini. Samuel Scott, William Marlow, Daniel Turner, J.W.M Turner, John Constable, John Anderson, James Abbot McNeil Whistler, David Robert, Henry Pether, Walter Greaves, John Wilson Carmichael, James Francis Danby, Edwin Edward, George Price Boyce, Thomas Creswick, Claude Monet, Henry Dawson, Thomas Serres, William Westall, George Chambers, James Holland, Joshua Taylor, Samuel Bough, James Tissot, Winslow Homer, Charles Napier Hemy, John Atkinson Grimshaw, Paul Maitland, Frank Brangwyn, John Robertson Reid, Thomas Robert Way, Camille Pissaro, Charlea William Wyllie, Henry Muhrman, Harold Gilman, Albert Goodwin, John Everett, dan banyak lainnya.
London juga adalah rumah terakhir Sigmund Freud dan putrinya Anna, setelah Austria diduduki oleh Nazi. Terletak di 20 Maresfield Gardens, yang begitu dekat dengan kediaman yang pernah dihuni oleh John Keats. Dan seperti halnya Freud, Karl Marx menghabiskan seluruh sisa hidupnya berada di kota ini. Berjuang dalam penderitaan yang nyaris tak terputus. Kekurangan uang, hidup dalam kemelaratan, menyaksikan kematian anak-anaknya, melihat kehancuran mental istrinya, dan bahkan nyaris tak mampu mendapatkan pekerjaan sama sekali dan hidup dalam kamar kecil yang begitu menyedihkan. Hanya sesosok Engel-lah yang membuatnya bertahan dan keluar masuk perpustakan London dalam ketekunan yang begitu miris. Berusaha menyelesaikan bukunya yang kini terkenal di seluruh dunia.
Peter akhirnya melangkahkan kakinya di jalanan yang dahulu kala, seorang Newton pun seringkali melewatinya. Jalanan yang juga Adam Smith berjalan di atasnya. Di mana London adalah kota yang pertamakali menerbitkan karya terkenalnya, Wealth of Nations. Jalanan yang dipijak Peter bagaikan menyisakan jejak seorang Oscar Wilde, Wordsworth dan William Blake yang menulis puisi tentang London, dan George Orwell yang begitu miskinnya, sehingga harus hidup dalam keadaan yang begitu sukar dan kekurangan akan hampir semua hal.
Saat memandangi Big Ben, Peter membayangkan para seniman yang lebih modern seperti Francis Bacon dan Hockney, yang mungkin melakukan apa yang juga dirinya lakukan saat ini. Atau membayangkan William Shakespeare yang hidup di abad yang cukup jauh, berjalan gontai sendirian setelah selesai menyemarakkan kota London dengan drama-dramanya yang begitu berani dan tragis.
Kota yang begitu hidup dengan pusat perdagangan, perpolitikan, dan kesenian yang berjalin erat dengan tumbuh berkembangan ilmu pengetahuan modern di tangan Bacon, Newton, Harvey, Charles Darwin, Cuvier, Wallace, hingga Stephen Hawking.
London yang Peter lihat tak sesuram dan sejahat yang pernah digambarkan oleh Dickens. Malah akhir-akhir ini lebih sangat mirip dengan apa yang pernah Mary Shelley bayangkan dalam novelnya.
Sebuah kota yang berkembang begitu cepatnya semenjak mesin dan uap berjalan dan bekerja beriringan. Melahirkan berbagai hal yang kini semakin menuju kepada krisis besar di tubuh umat manusia.
Peter memandangi bangunan indah di samping Big Ben dan berjalan pelan di sepanjang pedestrian sebelum akhirnya berbelok ke kiri. Melangkahkan kedua kakinya di alun-alun yang menampikan patung Winston Churcill dan lain sebagainya. Berjalan lurus. Melewati banyak hal. Hingga akhirnya dia sampai di sekitar Jembatan Lambeth. Memandang ke arah Sungai Thames yang begitu indah sekaligus membuat dirinya menjadi lebih gamang dari pada sebelumnya.
Peter terasa bagaikan melihat Turner saat tiba di sini. Laki laki yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya. Hidup di sekitar aliran Thames dan terkadang, tengah asyik memancing di tepian sungai. Akan sangat menyenangkan, jika sungai ini masih bisa digunakan untuk memancing lagi. Sayangnya, Sungai Thames sudah tak lagi seperti dulu.
Setelah sedikit berhenti sejenak mengamati lingkungan sekitarnya. Saat awan cukup tebal terlihat mengambang di permukaan sungai. Peter kemudian melanjutkan perjalanannya. Menuju sebuah tempat. Tempat yang akan menjadi kesibukannya sehari-hari dalam beberapa waktu ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
J'Na
Actionnovel kecil. gagasannya gila. bagi kalian yang tidak hidup dalam dunia gagasan. aku sarankan menyingkir. buku ini akan ditulis cukup serius. mungkin kalian tak mudah menyukainya. bacalah genre yang biasa. percintaan anak remaja! mendekati novel ini...