11

24 1 0
                                    

Udara di sepanjang Brompton terasa kering dan menyengat. Pepohonan yang tak terlalu banyak, membuat sinar matahari jatuh langsung melukai kulit. Memaksa Peter melangkahkan kakinya agak terburu-buru di depan sebuah gereja Katolik yang tak menjadikan kota London menjadi surga yang sejuk dan menenangkan.

Saat dia mencapai Thurloe, sekilas dia melihat sesuatu yang tak asing berada di dinding sebuah bangunan yang berada di seberang jalan. 

Seekor tikus yang sedang berdoa kepada matahari. Yang jelas saja, itulah bukanlah tikus yang sebenarnya. Melainkan lukisan di dinding atau mural bergaya stensil. Mural itu cukup besar sehingga bisa dilihat siapa saja.

Itu adalah Banksy, pikirnya.

Mural barunya? Entahlah. Dia sedang terburu-buru sehingga tak terlalu memedulikan itu milik siapa.

Peter akhirnya sampai di atas pedestrian lebar yang mengarahkan kedua kakinya ke tangga berundak, sebelum akhirnya masuk ke dalam Victoria and Albert Museum.

Dia bertemu dengan kenalannya yang bekerja sebagai jurnalis The Guardian. Mereka berjalan beriringan dengan agak tergesa, sesekali melihat kemewahan dunia yang ada di sekitarnya.

"Apa kita terlambat?" Peter bertanya kepada seorang laki-laki muda yang berjalan di sebelahnya, yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya. 

"Sepertinya sudah dimulai beberapa waktu yang lalu. Yah, mungkin sekarang pidato panjang yang agak menyebalkan. Itu bisa kita abaikan."

"Tapi aku ingin mendengar senimannya."

"Oh, aku juga. Aku juga ingin tahu apa yang akan keluar dari mulut seorang Tristam Hunt."

"Hmm, mungkin itu akan menarik."

Mereka akhirnya sampai di depan ruangan 38, tepat saat Tristam Hunt memulai pidato pembukaannya.

"Oh, kita beruntung Pet," bisik temannya, sang jurnalis yang kini meninggalkan Peter seorang diri di tengah sosok-sosok penting yang mengisi ruangan.

Peter mengeluarkan kameranya dari dalam tas. Mengambil beberapa gambar, sambil merekam dan mencatat apa-apa yang penting. Matanya mencari-cari sosok seniman yang akhir-akhir dibicarakan publik Inggris dengan penuh antusias dan kebimbangan. Tapi, dia tak menemukannya. Matanya malah mendapatkan seorang perempuan muda yang tersenyum padanya dan dari gerak tangannya, memintanya untuk mendekat.

"Senang berjumpa kembali dengamu Pet, " bisik dari suara lembut seorang perempuan muda bernama Clara. "Duduklah di sini. Aku tak sabar ingin mendengarkan kisahmu."

Perempuan muda itu terlihat berbahagia dan wajahnya berbinar-binar saat peter mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Apa kau tahu, di mana senimannya?" tanya Peter ke Clara. Saat mata Clara terlihat berkeliling ruangan. Suara Tristam Hunt terdengar meninggi.

"Saskia, dia adalah seniman muda, yang kita sama-sama tahu, telah menjadi perhatian kita bersama selama dua tahun terakhir ini. Perkembangannya dalam kesenian, kita juga semua tahu, sangat mencengangkan. Pameran kali ini, diharapkan akan diterima seluas dan sebaik pameran tahun lalu. Bahkan saya sendiri mengatakan, karya-karya Saskia tahun ini jauh tak terduga dan akan mengundang banyak debat mengenai apa itu seni. Tiga tahun lalu kita memiliki seniman luar biasa lainnya, bernama Peter Atkins. Memenangkan Turner Award dan berbagai penghargaan, baik di dalam maupun di luar negeri. Dan menyelamatkan seni lukis yang semua orang tahu, hampir mati dan sekarat di tengah gempuran dunia digital dan hologram. Yah, anak muda ini, yang sepertinya tadi saya lihat baru datang dan ada di sini ... "

Tristam Hunt mencari-cari orang yang disebutnya di antara tempat duduk dan mereka yang berdiri di belakang. Peter sendiri merasa tak terlalu senang saat namanya disebut-sebut. Nama itu akhir-akhir ini baginya terasa menjengkelkan. Tapi saat hampir semua pasang mata mulai mengamatinya dan seolah menusuk-nusuk tubuhnya. Terlebih saat Clara menyodok perutnya dengan siku. Dia pun terpaksa berdiri dan pura-pura tersenyum ke semua orang. Untuk saat ini, padahal dia sedang menganggap diri bukanlah seniman.

J'NaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang