10

33 0 0
                                    

Tiupan angin menggoyangkan beberapa tanaman red valerian yang berada di pucuk tebing. Suara deburan air bergejolak di bawahnya. Memangkas bebatuan dan menghaluskannya menjadi butiran-butiran pasir lembut yang akan menyelimuti pantai yang tak jauh dari tebing itu.

Seekor kadal viviparous terlihat melata di antara bebatuan dan semak-semak. Merayap dengan cepat lalu menghilang di balik celah bebatuan besar yang terlihat bagaikan monumen dari peradaban yang sudah punah.

Matahari bersinar cukup terik. Terkadang sedikit ditelan oleh awan dalam sekian menit lalu kembali muncul di atas permukaan air yang terlihat berkilauan.

Seekor hiu tengah berburu tak jauh dari tebing dengan kegaduhan yang menghasilkan jejak air yang begitu mencolok. Beberapa ekor burung terlihat terbang rendah di atas perburuan itu. Seekor peregrine muncul dari sisi barat lalu menghilang di rerimbunan pepohonan pinus.

Langit terlihat tenang dan memesona. Berwarna agak biru abu. Terasa menyatu dengan perairan luas yang ada di bawahnya.

Tak jauh dari tebing itu. Sebuah teluk dan pantai terlihat. Begitu juga seekor heron yang tampak tengah mencari makanan di tempat itu.

Suara langkah kaki terdengar di antara rerimbunan pepohonan. Sesekali terdengar ranting kering yang patah terinjak kaki. Embusan napas yang teratur bercampur dengan cicitan burung-burung yang ada di dahan-dahan.

Peter memandangi sebatang aster laut yang bunganya sedikit terlihat ungu dengan daun yang bagaikan menyembul di bawah tangkai batang. Dia lalu memetik satu batang rock samphire dengan bunga kekuningan yang ada di dekatnya. Kemudian kembali berjalan sambil bermain-main dengan bunga yang ada di tangannya.

Dia terlihat membawa tas kecil berbahan kulit yang biasa dia pakai saat tengah mencari inspirasi dan melukis. Kebiasaan yang dia tiru dari Turner yang selalu membawa tas kecil untuk mempermudahkannya membuat sketsa dia mana pun dirinya berada. Turner melakukan itu dan kini, Peter melakukan hal yang serupa.

Hamparan laut menyergap matanya sekali waktu. Peter menghirup udara perlahan. Memenuhi rongga paru-parunya. Mengembuskannya dengan mata terpejam. Tiupan angin laut membuat seluruh kulit di tubuhnya terselubungi perasaan ringan dan basah. Suara debur ombak menenangkan pikirannya. Membantunya untuk menjernihkan pikirannya dan mendorongnya merasakan dan melihat hal-hal yang tak biasa dilihat oleh orang kebanyakan.

Dia mengambil buku sketsa dari dalam tasnya saat menyaksikan sebuah karang yang menyembul di permukaan laut. Seekor burung petrel terlihat beristirahat di atasnya. Kilauan bening laut dan perasaan aneh akan cakrawala, membius Peter dalam membuat sketsa dengan sangat cepat.

Dia membuat beberapa sketsa dari berbagai macam media. Terkadang menggunakan pensil, cat air, arang, atau bahkan pewarnaan yang dibuatnya sendiri dari bahan yang diambilnya dari tanaman dan buah-buahan. Kali ini, dia sedang membuat sketsa hutan kecil yang ada di belakangnya. Jalan setapak yang dilaluinya. Berbagai kehidupan dan nuansa yang ada menyertai lanskap yang tertangkap oleh perasaan dan kedua matanya.

Apa yang ada di depan matanya mengingatkannya akan dunia yang digambarkan oleh Robert Macfarlane dalam buku-bukunya. Begitu lirih, lembut, layaknya puisi.

Turner mencintai dan melukis laut dengan gairah yang begitu besar. Bagi pelukis itu, laut yang bergemuruh, dicengkram badai dengan buih yang memercik, kapal-kapal yang mengambang di atasnya, kilauan cahaya yang muncul dari langit yang tertutupi awan hitam, dan cakrawala yang nyaris kosong dari kehidupan lainnya. Menjadi ciri khas Turner.

Tapi kali ini, dia lebih memilih laut yang disketsa Constable. Laut yang kini ada di hadapannya seakan memuliakan warna yang begitu lembut dan berisi banyak kehidupan. Pemandangan laut Constable sewaktu di Brighton memantul di depan bola matanya. Burung-burung yang berterbangan dengan begitu bebasnya. Warna yang bercampur menjadikan cakrawala tampak menyatu.

Sketsa yang lembut di atas kertas, menggunakan pensil dan tinta serta cat air, menjadikan Brighton Beach terlihat halus dan begitu sentimentil. Itulah ingatan yang Peter dapatkan dari seorang Constable yang juga memandang laut dalam cara yang cukup lain.

Melukis dan membuat sketsa langsung di alam dan ruang terbuka telah banyak ditinggalkan. Seolah abad berlalu begitu cepat. Saat lukisan menjadi kuno dan hampir mendekati punah. Peter mencoba menyelamatkan sedikit dari peradaban lama itu. Semenjak van Gogh nyaris membuat seluruh lukisannya di alam terbuka dengan susah payah. Tak ada seorang pun yang bisa menggantikan pelukis hebat yang malang itu dalam merasakan gairah dan warna alam di sekelilingnya.

Ah, dia mendesah lalu kembali membuat skesta yang agak abstrak dengan arang yang menjadi inti perasaanya. Menyelamatkan perasaan yang hampir punah juga adalah hasratnya semenjak dia terpengaruh tidak hanya Turner dan mereka yang hidup dalam satu generasi dengannya. Tapi juga para pelukis yang berusaha memasukkan perasaannya di dalam lukisan-lukisan miliknya.

Dua ekor gannet melintas di depan matanya bersama camar kepala hitam. Dia menyaksikan keagungan makhluk-makhluk terbang itu tepat di depan matanya. Keagungan kehidupan yang begitu menyenangkan hatinya.

Terkadang dia tidak hanya melihat elang peregrine. Tapi juga buzzard dan cormorant. Tak henti-hentinya dia mendongakkan kepalanya. Karena langit hari ini penuh dengan sayap dan suara para burung yang bercicit dan bernyanyi. Dan Peter ingin sekali membuat lukisan burung-burung itu.

Dia membuat sketsa beberapa ekor burung dengan dan tanpa lanskap. Beberapa di antaranya sangat realis. Beberapa lainnya begitu kabur dan ganjil. Dia mengekpresikan para burung yang dilihatnya dalan berbagai macam perspektif dan gaya. Dari sekian banyak sketsa yang dihasilkannya. Beberapa di antaranya akan dia pilih menjadi lukisan.

Sesekali dia membuat skesta dengan gaya van Gogh. Dia ingin melihat alam dengan cara laki-laki jenius itu. Menangkapnya, memeluknya, dan memasukkan semuanya ke dalam dirinya. Setelah puas merasakan berbagai macam seniman yang dikaguminya. Dia akan kembali ke gayanya sendiri.

Dia terkadang berjalan sambil mengamati berbagai macam tanaman yang ada di bawah kakinya. Bunga-bunga, semak-semak, rerumputan dan berbagai macam jenis bebatuan dari skala geologis yang berbeda.

Dia mengamati tebing. Melihat strukturnya yang mengesankan. Sejenak membayangkan diri sebagai Richard Owen atau Mary Anning yang akan menemukan sesuatu yang luar biasa di sekitar pantai. Atau seorang Darwin yang menemukan keindahan di balik alam yang kejam dan keji.

Peter menuruni sisi bukit bagian timur yang tak terlalu terjal dan seolah tergerus dengan sempurna menjadi sebuah tangga yang bagaikan dibuat oleh manusia.

Seeekor kepiting merayap di permukaan pasir sesampainya dia di pantai. Air pasang yang datang tiba-tiba, mendingingkan kedua kakinya yang kini telanjang. Rasa basah di kakinya kemudian berubah menjadi dingin menenangkan yang begitu nyaman dan ringan.

Dia memandang ke kejauhan. Pada laut yang mencair dalam kesamaran tipis batas dan keberadaan. Pada waktu yang mengisap dirinya dalam ketidakpastian. Sebuah dunia yang terus berulang tanpa titik akhir. Rumah bagi segala yang melingkar dan melebur.

Dalam debur ombak yang memuncak di kedua pupil matanya. Dia melihat seni yang begitu rapuh. Serapuh warna-warna yang memudar dan berganti.

Dirinya dan aliran angin yang menyusup di sela-sela jemarinya.

J'NaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang