Bab 3; Manusia Pelit

697 65 1
                                    

Kalau ada yang meminta Kana untuk mendeskripsikan seorang Barganyu, maka jawabannya hanya satu kata yang akan di ucapkan Kana berulang kali. Pelit. Pelit. Pelit. Pelit. Pelit.
Gitu aja terus sampe kuda beranak komodo.

Sebenarnya Kana juga merasa heran dengan dirinya. Kenapa dia bisa begitu tahan bersahabat dengan seorang Baba yang perhitungan. Karena, kalau dipikir-pikir Kana sendiri bukan tipe cewek yang perhitungan apalagi pelit. Padahal, Kana banyak mendengar dari orang-orang tua atau buku-buku yang dibacanya kalau teman atau sahabatmu tidak akan memiliki sifat yang jauh berbeda darimu. Dan itu memang terbukti, Rio, abang sepupu Kana yang lain lagi, sangat pendiam dan teman-temannya juga rata-rata sama pendiamnya seperti dia.

"Loh, bapak nggak bisa gitu dong, pak. Orang bapak yang nggak liat-liat bawa motornya kenapa minta rugi sama saya? Nggak, saya nggak mau. Benerin aja motornya sendiri. Siapa suruh bawa motor sambil chatingan."

"Jangan seenaknya dong, mas! Mentang-mentang mas orang gedongan, bukan berarti mas boleh lepas tanggung jawab!"

"Gedongan-gedongan, saya orang. Bukan gedung!"

Kana mendengar suara ribut-ribut di pelataran parkir butiknya. Dia menolehkan kepalanya guna melihat siapa gerangan orang yang sedang ribut-ribut itu. Namun sayang, banyak orang yang mengerubungi orang yang sedang ribut tersebut. Dengan tinggi yang hanya 153 sentimeter, jelas Kana tidak akan bisa melihat mereka meskipun dia berjinjit. Akhirnya Kana melangkah keluar butiknya menuju orang-orang bergerombolan tersebut.
Dan, Kana tidak terkejut sama sekali saat dia melihat Baba terlihat sengit berdebat dengan seorang bapak pengendara motor.

"Pak, berapa ganti ruginya?" Kana memilih dia yang mengganti rugi. Karena, percuma berharap Baba mau ganti rugi.

" Dua ratus ribu, mbak."
"Eh, jangan kasih, Na! Keenakan nih, orang, ntar," Baba menunjuk bapak tersebut dengan dagunya. "Lagian dia yang salah, Na! Chat-an sambil bawa motor. Hayo ngaku pak, Bapak chat-an sama selingkuhannya, kan?"

"Jangan asal ngomong kamu, ya!" Bapak tersebut meradang marah pada Baba dengan mengacungkan telunjuknya kedepan wajah Baba.

"Tuh, tuh, kan marah. Berarti bener. Pak, sadar, pak. Ingat umur udah tua, udah bau tanah. Jangan suka selingkuh lagi. Dosa!" Baba malah memceramahi bapak itu dan membuat raut wajahnya semakin merah padam.

Tidak ingin memperpanjang pedebatan tersebut, Kana mengambil uang seratus ribu dari dalam saku celananya tiga lembar dan memberikannya pada bapak tersebut agar segera pergi. "Nih, pak. Maafin teman saya, ya." ucap Kana dengan sopan seraya memberikan uang tiga ratus ribu kepada bapak tersebut.

Tanpa mau membalas ucapan maaf Kana, bapak tersebut mengambil uang dari tangan Kana dengan kasar sambil mendengus.
"Ajarin, nih, laki lo! Biar tau sopan santun."

"Dia bukan sua-"
"Lo yang nggak so-"
Tanpa menunggu kedua anak muda tersebut menyelesaikan ucapannya, bapak tersebut telah melesat pergi dari kerumunan dengan suara motor yang meraung keras.

"Tuh, lo liat tuh, Na. Nggak sopan banget, kan?"
Baba pergi meninggalkan Kana di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang mengerubungi mereka, memasuki butik Kana tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
Kana memperhatikan orang-orang yang masih saja menonton dirinya sendirian disana.

"Ngapain masih disini? Udah sana, bubar!" teriak Kana kesal. Kapan sih, Baba berhenti membuatnya malu di depan umum.

Jomblo PelitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang