Bab 9; Two Months

590 58 1
                                    

Awalnya, bibir mereka hanya saling menempel. Sebelum Baba menjilat menggoda bibir Kana dan membuat Kana membuka bibirnya sedikit. Memberikan celah agar lidah Baba dapat masuk. Ciuman mereka tidak kasar, ataupun tergesa-gesa. Ciuman ini terasa lembut, ciuman dari kekasih yang mencoba menyampaikan perasaannya.

Baba mencicipi rasa Kana yang selama ini hanya sebatas mimpi untuknya. Akhirnya, apa yang selama ini hanya sebuah mimpi telah menjadi kenyataan. Perlahan, Baba menyentuh pundak Kana, dan menariknya agar lebih dekat ke pelukannya.

Seolah baru saja terjatuh dari tangga, Kana sadar siapa yang sedang dia cium. Tanpa menunggu otaknya memproses semuanya, tangannya refleks mendorong Baba menjauh dari tubuhnya sebelum Baba dapat meraih Kana ke dalam pelukannya.

Baba yang tidak menyangka akan penolakan Kana yang tiba-tiba, menatap Kana dengan pandangan yang terluka.

Setelah tragedi ciuman itu, kini keduanya hanya saling diam menekuri pikiran masing-masing.

Baba duduk disofa seberang Kana menjaga jarak seperti yang diinginkan gadis itu.

"Na," ucapan Baba menarik perhatian Kana yang sedari tadi hanya menatap lantai keramik rumahnya.

"Apa?"

"Kasih gue kesempatan buat buktiin ke elo kalo gue nggak cuma pantas buat jadi sahabat lo aja. Kasih gue kesempatan buat buktiin kalo gue pantas buat jadi sahabat hidup lo, sampai nanti rambut lo beruban, kulit lo keriput, mata lo rabun jauh, pokoknya, jadi orang yang pertama selalu ada disetiap lo buka mata dipagi hari sampai nanti lo menutup mata lagi dimalam hari."

"Ba, ini nggak bakal berhasil. Tahun-tahun yang kita lalui bersama sebagai sahabat udah cukup buat bikin gue tahu lo luar dalam. Lo tahu gue orang yang mudah bosan, gue selalu butuh hal-hal baru untuk membuat gue selalu tertarik sama pasangan gue. Dan lo, bukan orangnya."

"Tahu darimana lo kalo gue nggak bisa bikin lo selalu merasa tertarik sama gue? Kita kan belum coba. Selama ini yang lo lihat dari gue cuma apa yang ingin lo lihat. Lo nggak pernah lihat siapa gue yang sebenarnya."

Kana terdiam memikirkan kalimat terakhir Baba. Memang, selama ini yang dilihatnya dari Baba adalah hal-hal yang dia pikirkan tentang Baba. Selama ini dia pikir apa yang Baba tunjukkan kepada dirinya adalah Baba yanh sebenarnya. Tiba-tiba, muncul sebuah pertanyaan yang muncul dikepalanya dan langsung ia sesali jawabannya setelah ia mengutarakannya pada Baba.

"Jadi, selama ini lo bukan cowok pelit? Itu cuma gimmick doang?"

"Kalo itu sih nggak usah ditanya, Na, itu namanya bukan pelit, tapi memperhitungkan. Gue perlu dong, memperhitungkan semua uang yang gue keluarkan. Apakah uang gue keluar buat kebutuhan atau sekedar foya-foya. Itu penting buat kesejahteraan rumah tangga kita nanti."

"Yakin banget."

Baba pun tertawa mendengar gumaman Kana yang terdengar olehnya. Dia tahu apa yang ada di kepala gadis itu sekarang, dia pasti takut kekurangan nafkah jika menikah dengannya nanti.

"Apapun yang sekarang sedang berputar-putar dikepala lo, gue pastiin itu nggak bener."

Kana menatap Baba dalam. Dia tidak perlu memberi tahu lelaki itu apa yang sedang ia pikirkan. Karena Baba memang sedalam itu mengenalnya, yang justru membuat Kana memikirkan ulang permintaan Baba untuk mencoba menjalani sebuah hubungan serius adalah, setelah melewati beberapa drama buatan Baba, dia memang seperti tidak mengenal Baba.

Baba yang dikenalnya selama ini adalah sosok lelaki yang suka membahas hal-hal tidak penting, suka menggosip dengannya, suka melawak, dan hal-hal yang menghibur Kana.

Baba yang sekarang sedang duduk dihadapannya jauh berbeda dengan Baba yang dulu. Dia terlihat lebih matang, sesuai dengan usianya yang sudah menginjak 28 tahun akhir bulan ini.

"Dua bulan, Ba."

"Eh, apa? Dua bulan maksudnya? Lo telat dua bulan? Anak siapa, Na? Gue belum sempet grepe-grepe lo masak lo udah tekdung aja?"

Langsung saja ponsel smartphone Kana melayang mengenai kepala Baba.

"Aaww! Sakit, Na."

"Nggak lucu tahu, Ba. Lo kayaknya cuma becandain gue doang, ya? Oh, atau sekarang lo lagi nyoba jadi youtuber? Jangan-jangan disini ada hidden camera, ya?"

Kana sudah berkaca-kaca saat mengatakan kalimat terakhirnya pada Baba. Sontak saja hal tersebut membuat Baba panik dan segera pindah duduk kesamping Kana dan memeluknya.

"Hei, sorry, tadi cuma becanda, soalnya dari tadi pembicaraan kita berat banget. Maksud aku tuh tadi cuma mau bikin kamu rileks, Na. Kok malah nangis? Ssstt, ssstt."

Baba menepuk-nepuk pundak Kana perlahan dan mengelus kepalanya seperti menenangkan anak kecil.

"Tapi itu nggak lucu sama sekali, Ba. Kita lagi ngomongin maunya elo, dan tiba-tiba lo bahas gue lagi hamil. Lo sengaja ya, bikin gue sedih gini?" ucap Kana sembari mengelap ingusnya dengan ujung lengan bajunya.

"Nggak, Na, gue nggak maksud gitu. Ya udah, ya udah, gue minta maaf, yaa. Sekarang berhenti nangisnya, nanti luntur cantiknya."

"Apasih, lo!" Kana segera melepaskan pelukan Baba dari tubuhnya.

"Jadi, maksud lo dua bulan tadi apa?"

"Gue mau coba jalanin ini sama lo, tapi dengan syarat cuma dua bulan. Kalau dalam dua bulan kita nggak menemukan kecocokan sama sekali, lo harus tepatin janji lo. Kalau kita memang cuma ditakdirkan buat jadi sahabat."

"Ha? Tapi dua bulan sebentar banget, Na."

"Take it or leave it, Ba?"

"Oke, in two months, I will make sure you'll mine."

To be continue.

Hai, kejutan. Gue up nya hari ini, wkwkw. Seneng nggak? Kalo seneng vote dan komen yang banyak dong. Biar gue juga seneng dan lebih sering up.
Minta tolong banget nih, vote dan komen yang banyak yaa.. Bukan buat apa-apa, tapi gue lagi pengen dihibur. Soalnya hari ini lagi sedih beut.

But, still, if you wont, it's okay.
Btw, mau nanyaa, kalian nemu nih cerita aneh bin ajaib dan gajelas begini dimana sih?

Kasih kesan dan pesan kalian buat cerita ini dong?
Thank you.

Kalafana
26 Desember 2019

Jomblo PelitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang