Wanita paruh bayah itu berwajah cantik dengan garis wajah yang nyaris serupa dengan garis wajah So Eun. Matanya juga seindah mata wanita Kim itu. Walau sudah sedikit dihiasi keriput karena usia, wanita itu tetap manis ketika tersenyum. Sama indahnya dengan anaknya yang selalu indah walau tanpa ekspresi apapun di wajahnya.Kim Bum masih menatap wanita itu, sementara Seung Ho yang duduk berhadapan dengannya tak dapat menahan diri untuk menyeringai lebar. Lelaki itu juga sudah memasang ekspresi mencurigakan—yang sayangnya tidak dilihat Kim Bum karena pria itu lebih memilih untuk memperhatikan si wanita paruh yang terlihat sedang meminum tehnya dengan tenang.
“Imo,” Seung Ho sengaja bersuara, membuat wanita paruh bayah itu—Go Eun namanya—menatap padanya, juga Kim Bum yang seakan sadar dan segera mengalihkan tatapannya dari Go Eun dan kini menatapnya juga. “Imo tak ingin mengatakan sesuatu?” lanjutnya kemudian dengan sebuah pertanyaan. Lelaki itu juga melirik Kim Bum dengan tatapan misteriusnya, membuat Go Eun tersenyum kecil karena mengerti maksud keponakannya.
Go Eun lantas melempar tatapan lembutnya pada pria tampan yang duduk berhadapan dengan keponakan tampannya itu lalu tersenyum lembut. Membuat pria yang ditatapnya itu membalas senyumnya dengan sedikit canggung.
“Kau Kim Sang Bum, kan?”
Wanita paruh bayah itu bertanya lebih dulu, masih dengan senyum yang sama. Membuat Kim Bum mau tak mau mengangguk kaku sebagai jawabannya. “Ya, nyonya.”
“Nyonya?” Go Eun terlihat tak terlalu suka dengan panggilan itu. “Itu terlalu resmi untuk saat ini, nak. Panggil aku imo saja,” lanjutnya kemudian. Sepertinya, wanita itu ingin suasana yang tercipta antara ia dan teman anaknya itu jadi lebih santai.
“Eh ya, imo.”
Go Eun tersenyum lagi. Dan kini, senyumannya itu mampu membuat Kim Bum membalas senyumnya dengan lebih santai. Bahkan pria muda itu terlihat lebih tenang dari yang tadi.
“Kau dipanggil Kim Bum, kan?” Kim Bum mengangguk lagi sebagai jawaban. “Aku ingat kau.”
“Ya?”
“Kau presiden siswa Seoul National High School saat So Eun menghilang dulu.”
Kim Bum mengerjab. Entah mengapa, rasanya sedikit tak enak saat ibu So Eun itu malah mengingatnya karena hal itu. Presiden siswa saat So Eun menghilang? Hah, itu membuatnya teringat akan tuntutan yang hampir dilayangkan wanita itu dan suaminya padanya. Ya, waktu itu, dirinya hampir dituntut karena menjadi yang paling bertanggung jawab karena menghilangnya So Eun. Beruntung, pihak sekolah berhasil membujuk pasangan itu sehingga tuntutan itu hanyalah wacana semata.
Kembali lagi ke masa ini.
Saat Go Eun mengatakan kalimat tadi, Kim Bum rasanya terlalu hina untuk berada di hadapan wanita paruh bayah itu dan duduk dengannya. Rasanya ia sangat tak pantas. Tak ada hal baik yang wanita itu ingat tentangnya. Dan itu menyakitkan. Seperti ia tengah ditampar telak oleh kenyataan. Bahwa ia harus berkaca sebelum mengharapkan sesuatu.
“Ya, nyonya,” Kim Bum kembali dengan rasa hormatnya. Panggilan ‘imo’ terlalu akrab jika harus mengingat apa yang sudah terjadi dulu. “Aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi dulu. Seharusnya, aku tahu diri untuk tidak datang ke sini lagi.”
Go Eun tersenyum kecil saat mendengar apa yang Kim Bum katakan. Wanita paruh bayah itu tahu apa yang anak muda itu pikirkan. Sementara itu, Seung Ho sudah mengerjab khawatir. Ia tak ingin Kim Bum mengatakan jika pria itu tak akan berhubungan lagi dengan kakaknya. Tidak! Seung Ho sudah berjanji. Apapun yang terjadi, ia akan memastikan Kim Bum akan selalu berada di sisi So Eun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora
FanfictionCerita tentang asal usul Kimbum menamai caffenya "Aurora", membuat Kim Soeun merapat lagi ke kehidupannya. Setelah bertahun-tahun berpisah, di mana Soeun disibukan dengan dunianya yang kaku dan monoton serta hanya berporos pada bisnis dan pekerjaan...