BAB 4

579 88 24
                                    

"Pria kota tua itu memiliki nama!"

Suara itu-- aku mengenal suara itu. Aku tidak berani membalikkan badanku untuk melihatnya. Aku malu, seperti orang yang tertangkap basah melakukan kesalahan, saat ini seperti itulah aku. Terdiam, membeku tanpa bisa berkutik.

"Karya kamu bagus." katanya lagi.

Ya Tuhan, dia tidak tahu saja jantungku sudah berdetak kencang sejak tadi, rasanya kaki ini ingin sekali berlari untuk menghindarinya. Ayolah Naz, biarkan saja dia mengetahui, jika itu memang kamu tulis untuknya. Dia mungkin tidak keberatan.

Aku menarik napas panjang sebelum benar-benar memberanikan diri untuk melihat wajahnya. Aku membalikkan badanku dengan gerakan yang ragu, pandanganku memaku kearah bawah.

"Heii, kenapa seperti itu wajahmu? malu karena aku mengetahuinya jika pria kota tua yang dimaksud itu aku?"
"Bu--kkkaan seperti itu." kataku terbata-bata.

Dia bisa sekali membaca pikiranku saat ini, dan aku tidak bisa mengangkat wajahku menatap dirinya yang kini sudah berada didepanku.

Ia meraih tanganku, lalu membawaku pergi menjauhkan diri dari keramaian.

Jika saja jantung ini bisa berteriak, maka ia akan melompat keluar dari tubuhku. Genggaman tangannya begitu hangat, seperti orang bodoh aku mengikutinya begitu saja. Dan aku masih belum berani menatap wajahnya.

"Duduk." ucapnya, satu tangannya masih menggenggam tanganku, satunya lagi ia ulurkan kearah kursi panjang, mempersilahkan aku duduk.

Aneh rasanya, seperti halaman ini rumahnya saja mempersilahan aku untuk duduk.

Aku kebingungan, apa yang terjadi saat ini seperti mimpi. Jika ini adalah sebuah mimpi aku tidak ingin mimpi ini berakhir, aku ingin waktu berhenti agar aku bisa tetap dekat dengannya.

Beberapa detik kemudian aku duduk, dan begitu juga dengan dirinya. Ia duduk setelah melepaskan tangannya dariku.

Aku masih menunduk, aku tidak berani melihatnya, jika biasa aku akan memandangi wajahnya hingga puas tapi saat ini seolah semua dimensiku terhenti, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Aku menyukai hasil tulisanmu, sederhana tapi mudah dipahami." katanya tanpa menengok dan tetap melihat kearah depan.

Aku melihat dirinya melalui ekor mataku, menyadari bahwa Azka tidak sedang melihat kearahku.

"Lalu?" Aku mulai mencoba untuk tenang, menghilangkan perasaan malu yang saat ini mulai beralih menjadi gugup.

"Bisakah pria kota tua itu mengenal penulisnya?"

Rasanya ingin sekali aku melompat girang, ia tidak tahu saja pipiku sudah mulai memanas karena malu, tapi aku menahannya.

"Untuk apa?"
"Untuk bisa dituliskan kembali dikarya selanjutnya."
Aku menoleh, melihat wajahnya, "Klo penulisnya tidak mau bagaimana?"
"Aku akan memaksanya, sampai dia mau menuliskannya untukku." ia tersenyum, lalu menoleh kearahku. Kedua mata kami saling bertemu.

Saat ini, jantungku berlari kencang, membuatku sulit untuk bernapas. Ia benar-benar membuatku tidak bisa berpikir jernih. Entah apa yang membuatnya seperti itu, aku pikir dia orang yang dingin, aku pikir dia orang yang acuh, tapi saat ini, Azka yang berada di depanku seseorang yang ramah dan hangat. Ia seperti menamparku yang telah menjudge-nya tanpa mengenalinya. Berburuk sangka padanya satu kesalahan yang aku buat saat pertemuan itu terjadi.

"Memaksakan kehendak bukanlah suatu yang baik, itu namanya egois, belum tentu penulisnya ingin dipaksa."

Ia tersenyum kembali, "Terkadang untuk mencapai tujuan dan sebuah keinginan kita bisa menjadi egois, bukan berarti egois dengan menyakiti atau menjatuhkan orang lain."

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang