BAB 20

290 69 7
                                    

"Pak Anang??? Bapak dari rumah pohon?" tanyaku setelah melihat ia berhenti, menyapaku dari arah kepulangan dari rumah pohon.

"Iya neng, Bapak tadi menemukan ini di rumah pohon sepertinya milik seseorang yang baru saja dari sini."

Pak Anang, yang tinggal di dekat rumah pohon itu memberikanku sebuah ponsel yang aku tahu itu adalah milik Raihan.

"Terima kasih, Pak." ucapku lalu bergegas berjalan meninggalkan si Bapak.

Aku tahu, Raihan tidak berada jauh dari sini, aku tahu Raihan berada di sini. Tapi untuk apa???

Aku berlari kecil ke sana kemari, jantungnya berdetak kencang, deru napasku mulai berat, napasku tersengal-sengal, aku mencarinya ke dalam rumah pohon tapi tidak ada petunjuk yang ku dapat.

Sampai akhirnya aku menjatuhkan diri di atas tanah, berharap, Raihan yang datang padaku. Aku lelah berlari untuk mencarinya.

Apa begini rasanya kehilangan seseorang yang berarti, dan aku telah terlambat menyadarinya?

"Rai, aku tahu kamu pasti lelah berada di sampingku, dengan segala kegelisahanku yang tidak berarti. Aku tahu kamu sudah lelah mengharapkan hatiku yang tidak pernah mendatangimu. Aku sendiri tidak tahu Raihan. Tidak tahu..."

Aku terduduk, menekuk kedua lututku, lalu menenggelamkan wajahku. Aku menangis sesegukan, entah apa yang ingin aku tangisi. Aku takut, aku tidak bisa mengendalikan perasaan yang tidak dapat kupahami.

Bulu kudukku merespon, seseorang memegangi bahuku, ku angkat kepalaku, menengok, "Raihan???"

Dia tersenyum, kemudian membantuku untuk berdiri.

"Untuk apa kamu berlari? aku pernah bilangkan, aku yang akan menunggumu dan mendatangimu, kamu nggak boleh berlari seperti itu. Itu bukan Nazhira yang kukenal..."

Aku mengusap airmataku, seperti anak kecil yang selesai merengek.

Raihan meraih tanganku, menggenggam erat, kemudian membawaku masuk ke dalam rumah pohon. Aku hanya mengikuti langkahnya, tanpa mengatakan apapun. Rasanya sungguh lega menemukan dia saat ini berada di sampingku.

Dia memberiku teh hangat yang entah darimana ia dapatkan, mungkin dari warung atau Pak Anang???

Aku duduk di samping rak buku, karena sejak awal aku datang ke rumah pohon itu, entah apa alasannya aku menyukai bersandar di samping rak itu, seperti ada sesuatu gerakan hati yang membawaku untuk merasakan kenyamanan.

"Kamu tahu darimana tempat ini?" tanyaku langsung, karena tidak akan ada lagi basa-basi.

Bukankah aku harus segera menemukan jawabannya untuk menyelesaikannya?

Raihan tersenyum tipis, menatap jejeran foto Azka dan Ian yang terpasang di dinding. "Kamu tahu, Naz. Aku salah satu orang yang beruntung memiliki saudara tiri sebaik mereka."

Aku menautkan kedua ujung alisku, tidak begitu paham maksud dari pembicaraan Raihan.

Setelah beberapa saat ia menelik foto itu, ia memalingkan wajahnya ke arahku, menatapku dengan tatapan sendu. "Sudah sampai mana kamu baca buku itu?"

"25 september???" kataku sedikit ragu.

"Masih ada waktu berikutnya yang harus kamu baca setelah itu akan ku jelaskan semuanya."

"Sekarang???"

"Iya, karena itu merupakan waktu terakhir yang ditulis Azka."

Mataku melirik ke wajahnya seolah meminta izin untuk aku membaca saat itu juga.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang