BAB 1

1.6K 134 19
                                    

"Eh, kumis kucing ngapain sih di pojokkan." teriak Raihan.

Aku segera menoleh, "Ssstttt! jangan berisik." Aku menaruh jari telunjuk dibibirku yang katanya Rai mungil padahal aku tidak merasa begitu.

"Mau kabur lagi??? Gilaa sih gak ada jera-jeranya ni anak."

"Bodo amat, sana pergi!" usirku.

Aku mengendap-endap menuju tembok belakang sekolah untuk kabur. Sudah menjadi kebiasaan sepertinya setiap kali aku bosan berada di sekolah. Buat gadis sepertiku yang memiliki dimensi dunia sendiri jangan berharap memiliki teman banyak. Aku tidak begitu menyukai bergabung bersama teman perempuanku, setiap hari kerjaannya gak jauh-jauh dari nyinyirin orang. Dan aku paling benci hal itu. Memang mereka siapa berhak untuk mengomentari hidup oranglain, dipikir hidup mereka sudah sempurna kali ya.

Nah kan jadi ngelantur!

Satu-satunya temen yang bisa aku andalkan cuma satu, dia bilang kalau dia dilahirkan dari planet pluto. Dasar aneh memang lelaki satu itu, dia Raihan Ezaha, teman sedari kecil.

Cuma Rai yang berani manggil aku dengan sebutan kumis kucing itu karena sejak SMP, tiba-tiba bulu tipis tumbuh dengan tidak subur diatas bibirku dan semenjak itu Rai selalu ngeledek dengan manggil aku si kumis kucing. Anehnya aku tidak marah padanya.

"Yass!!!" aku berhasil memanjat tembok mengepalkan kedua tanganku keatas udara.

Ngomong-ngomong soal Rai, aku dan dia itu beda jauh, dia pintar sedangkan aku bodoh, eh ralat bodohnya cuma sedikit sih, ngeles aja sih Naz. Dan yang paling membedakan adalah dia itu pria terkenal di sekolah sedangkan aku cuma pajangan yang gak dianggap, itu sebabnya aku selalu gak betah berada di sekolah.

Rai nggak pernah kabur mengikuti jejakku, dia murid teladan bahkan beberapa kali menyandangkan predikat murid paling teladan, sayang aja gak ada predikat murid paling nakal kalau ada aku pasti sudah dapat sertifikatnya.

Setelah kabur dari sekolah biasanya aku menghabiskan waktu di kota tua, duduk sendirian menulis apa saja yang ingin aku tulis.

Jangan tanya aku naik apa kesana, tentu saja naik motor, ya kali jalan kaki, bisa gak napak tanah begitu sampai sana. Jarak sekolahku dan kota tua memang jauh tapi tidak membuatku menyerah untuk pergi kesana. Cuma disana aku bisa bebas berimajinasi, melihat banyak orang dari berbagai aspek.

Satu hal pesan Bunda yang selalu aku ingat, lakukan apa yang kamu inginkan selagi masih bisa menikmatinya, akan ada saatnya fase itu akan berubah dan kamu akan menemukan tujuan sebenarnya.

Aku tinggal bersama Bunda dan Bang Reno, Abang yang sukanya ngerecokin aku saat lagi di rumah, dan kalau boleh milih maunya Abang Reno ditukar aja sama Oppa Suho biar bisa dijajanin terus. Ayah sering meninggalkan kami, lebih tepatnya Ayah pergi berlayar melintasi samudera. Itu sebabnya aku bisa bebas berkeliaran, kalau ada ayah tentu saja aku berada di rumah tidak berani seperti sekarang yang bebas. Ayah pulang enam bulan sekali kadang cuma setahun sekali, untung saja bunda orang yang setia kalau nggak bisa-bisa sudah punya Ayah baru.

Helehhh mulutmu Naz, ngerem dikit klo ngomong!

Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang, kemacetan pun tidak bisa dihindari, namanya juga kota Jakarta banyak sekali para perantau yang ingin mengais rejeki di kota metropolitan ini sehingga membuat padat penduduk.

Sampai di kota tua aku langsung memarkirkan motorku, baru saja menurunkan standar motor ponselku sudah berdering. Aku segera mengambil ponsel yang ada didalam tas, menghela napas sesaat.

Siapa lagi yang menelpon kalau bukan Rai, cuma dia yang bertindak sebagai seolah bodyguard yang mengecek di mana keberadaanku, sedang apa, sudah makan atau belum. Padahal sama pacarnya saja dia tidak begitu, bahkan bersikap dingin dan terkesan cuek. Dan karena hal itu aku selalu jadi pelampiasan kemarahan para barisan mantannya.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang