BAB 17

294 55 10
                                    

Ketika waktu tidak berpihak, maka ada sebuah kesalahan yang mungkin tidak disadari.

Seperti kegelisahan yang tidak berhenti berlari ke arahku, seperti itu pula aku melihat Azka.

Entah apa yang membuatku merasa pria yang memakai lensa bening dikedua matanya, tidak sedang baik-baik saja.

Dia tersenyum tipis, bola mata hitamnya bergantian melirikku dan Raihan yang duduk di sampingku. Dipelipis keningnya mulai mengeluarkan keringat, tatapannya seperti kosong, sesaat terlihat kecemasan dari raut wajahnya.

"Ka, kamu sakit?"
"Nggak."
"Jangan bohong."

Raihan merangkulku, kupalingkan wajahku sesaat ke arahnya. "Aku yang sakit, bukan Azka. Iya kan, Ka?" ucapnya memainkan kedua alis.

Azka terkekeh, "Iya, kamu lagi sakit,"
"Seriusan Rai, kamu beneran sakit?" tanyaku untuk kembali meyakinkan.

"Iya, aku sakit, sakitnya tuh disini." Telapak tangannya ia letakkan dibagian dada, sedetik kemudian Mama Uti tertawa kecil.

"Ah!!! kamu nih, bikin khawatir aja."
"Ciee yang khawatir..." Godanya, tangannya kembali merangkulku.

Aku tersenyum tipis, alih-alih membalas ucapan Raihan, mataku justru melihat Azka yang mendadak menggenggam tangan Mama Uti, erat.

Sesaat kemudian Mama Uti beranjak, "Ka, Rai, ikut Mama sebentar ke kamar tidur, ada yang Mama mau bicarakan." Mama Uti melirikku, "Nazhira nggak papa kan nunggu di ruangan ini, Mama pinjam Raihan dan Azka dulu ya, karena sebentar lagi Mama Uti udah harus ke Bandara."

"Iya nggak papa."

Kemudian satu per satu berlalu meninggalkanku. Entah apa yang sedang ingin mereka bicarakan, aku tidak ingin ikut campur. Jiwa kekepoan harus segera diruntuhkan.

Kamar hotel yang memiliki ruangan tengah sangat luas ini mengingatkanku pada rumahku di Jakarta, minimalis, di kelilingi beberapa sofa dan meja hias, kaca jendela yang transparan memperlihatkan pemandangan suasana kota Bandung, begitu indah.

Seketika aku ingat buku yang diberikan Azka saat di rumah pohon.

Aku pikir tidak ada salahnya aku membaca buku itu sambil menunggu mereka.

Bandung, 25 Mei

Untuk pertama kalinya aku mulai membiasakan diri menulis, semua karena Ian, semua karena Ayah yang tidak pernah memberikanku kesempatan untuk berbicara dan menentang semua ingin mereka.

Aku tahu Ayah dan Ian memiliki riwayat penyakit yang sama tapi bukankah itu nggak adil, klo aku harus memendamnya sendirian. Setiap kali menemani Ian kemoterapi rasanya ingin aku saja yang segera mati, aku tidak pernah bisa melihat saudara laki-lakiku merasakan sakit yang aku tidak bisa rasakan.

Ingin sekali aku marah pada kedua pria itu, yang bersikap seolah baik-baik saja.

Ibu??? Ah, wanita itu terlalu picik, meninggalkan Ayah karena laki-laki lain.

Tidak ada yang bisa membuatku percaya pada satu wanita pun. Sejak Ayah mengetahui Ian memiliki kanker otak, kami semua harus pindah ke Bandung, kata Ayah jika tinggal di Bandung, Nenek akan menjaga kami, sedangkan Ayah harus menetap lama di Singapore untuk menyelesaikan pekerjaannya di sana.

Saat itu, sepulang dari rumah sakit Ian meminta hal yang aku anggap kekonyolan semata, ia menyuruhku untuk mengikuti gadis yang sangat ia cintai, katanya.

Aku tertawa ketika mendengarnya, sudah tidak punya banyak waktu kenapa harus memikirkan orang lain. Tapi Ian terus saja merengek seperti anak kecil, mengancam tidak akan melakukan pengobatan jika tidak melaksanakan apa yang ia inginkan.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang