BAB 10

429 75 19
                                    

Dia diam, matanya terpejam. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Ia menyandarkan kepalanya dikursi, kedua tangannya melipat diatas dada. Kupanggil namanya berulang kali, ia pun tidak menghiraukanku.

Ditepi danau yang aku tidak tahu apakah danau itu memiliki nama, dan pria yang duduk di sampingku memakai hoodie navy menutupi kemeja yang ia pakai, masih saja tidak berbicara padaku. Lalu untuk apa aku mengetahui nama tempat ini, jika pada akhirnya tempat ini jugalah yang memutuskan harapku kembali.

"Tempat ini bukan memutus harapanmu." ucapnya seperti sedang membaca pikiranku dengan mata yang masih saja terpejam.
"Aku mau pulang!"
"Aku akan antar kamu pulang sekarang, tapi dengan satu syarat!"
"Apa?"

Dia membuka matanya, menegakkan posisi tubuhnya, menyorong ke arahku. "Na,,,"
kedua matanya tampak sebuah kekhawatiran yang saat itu sangat jelas bisa dibaca olehku.

"Hemm???"
"Kamu tidak boleh menangis ataupun sedih saat aku lagi nggak sama kamu, berhenti membawa nama Ian disetiap langkahmu, dan--" ia menunduk sesaat sebelum kembali membuka mulutnya, "lanjutkan petualangan dengan atau tanpa aku."

"Kamu mau pergi lagi? ke mana? kenapa sih, Ka, kamu nggak ngebiarin aku bisa masuk ke duniamu. Saat itu kamu bilang ingin mengenalku, lalu kamu bilang ingin aku menulis tentangmu dikarya selanjutnya tapi sekarang seolah kamu mau pergi menghilang seperti yang dilakukan Ian." Entah perasaan apa yang mendorongku untuk mengatakan semua keluhku padanya.

Aku benar, kan? tidak ada ruang untukku bisa mengetahui bagaimana dirinya, untuk apa kehadirannya, dan ke mana ia akan melangkah. Setiap kali aku menanyakan ia hanya menjawab, menjelajah waktu. Itu bukanlah jawaban, melainkan pertanyaan yang ia tinggalkan padaku.

Dia tersenyum, "Yang ingin kamu kenali bukan Azka, tapi Ian. Sampai saat ini pun kamu masih menganggap aku adalah pengganti Ian."

Azka mungkin saja benar, aku sendiri terkadang masih membandingkan dirinya dengan Ian. Tapi aku benar ingin mengenalnya bukan karena Ian, atau karena ia adalah adiknya Ian. Aku ingin mengenalnya sebagai Azka, Azka yang selalu meninggalkan tanya untukku.

Aku terdiam, menarik napas kasar, "Jika aku bilang aku ingin mengenal Azka dan bukan Ian, apa kamu masih percaya?"

Ia hanya tersenyum saja, lalu beranjak dari kursi, mengacak rambutku pelan. "Ayok, aku antar kamu balik ke Bandung."

See???? itu bukanlah jawaban Azka, lagi-lagi ia menggantung tanyaku. Aku kembali menghela napas panjang.

Oh, semesta kenapa aku harus dipertemukan dengan orang yang seperti Azka. Aku sama sekali tidak bisa memahaminya, tapi aku juga tidak bisa berhenti untuk memikirkannya. Aku sudah menyelesaikan perasaanku, sudah tidak lagi menempatkan Ian dihatiku, aku merelakannya karena bukankah itu yang diinginkan Ian? tapi--- pria itu sepertinya tidak mempercayaiku.

Azka sudah lebih dulu berjalan di depanku, sedangkan aku berat sekali rasanya melangkahkan kakiku.

Dia membalikkan badannya, lalu berdiri di depanku membuat langkahku terhenti menabrak dada bidangnya, sedetik kemudian ia meraih tanganku, "Aku percaya kamu sudah menyelesaikan perasaanmu pada Ian sejak tadi, itu alasannya aku ingin mengantarmu pulang ke Bandung."

Aku hanya diam, mengikuti langkahnya.

Tanpa kusadari ternyata waktu sudah berlalu, langit tak lagi cerah, sejak tadi rupanya langit sudah berubah lebih gelap, hanya cahaya bintang yang terlihat menerangi bumi. Terlalu larut dalam pikiran nyatanya membuatku seperti orang bodoh yang tidak mengenal waktu.

Aku memilih untuk duduk di posisi penumpang belakang, kubiarkan ia mengemudikan mobilnya tanpa harus duduk di sampingnya.

Ia menatapku melalui kaca spion kecil, tersenyum. Melihat ia menatapku seperti itu perasaan aneh ini justru pada akhirnya membuatku tidak jadi duduk di kursi penumpang. Melewati sela-sela kedua kursi, aku beralih duduk di sampingnya.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang