BAB 19

336 67 7
                                    

Jakarta, 25 Januari

Jarak memberikanku waktu untuk menempuhnya, hampir saja aku menyerah melawan waktu yang terus berjalan. Perasaan tidak percaya pun terlintas, lima belas bulan sudah kulalui mengikuti langkah gadis itu, dan hingga saat ini aku tidak berani untuk mendekatinya bahkan sekedar menyapa dengan kata 'Hai' saja bibir ini tidak sanggup menyatakannya.

Aku tahu kamu baik-baik saja, aku bisa melihatnya kamu tertawa, kemudian menangis di suatu tempat tanpa ada orang yang melihatnya.

Apa yang sedang kamu pikirkan, Na?
Begitu sulitkah untuk menyandarkan kesedihanmu pada seseorang yang kamu percaya???

Keadaan Ian semakin memburuk dan ketakutanku untuk melihatnya bertemu denganmu, berubah menjadi kekhawatiran, aku khawatir Ian tidak bisa melihatmu meski untuk terakhir kali, aku takut saat tiba waktunya nanti kamu akan menyalahkan keadaan. Tapi kamu tidak begitu, kan?

Mulai hari ini aku tinggal bersama Raihan dan dengan sangat terpaksa meninggalkan Ian bersama Mama Uti, ini semua karena aku harus melanjutkan misiku untuk menemani dan menjaga gadis itu dari kejauhan.

Aku pernah meminta Ian untuk menyerah saja dan memberikan misi itu pada Raihan, tapi ia bilang misiku dan misi Raihan itu berbeda?

Sampai saat ini aku tidak mengetahui misi apa yang diberikannya pada Raihan.

Apa sebenarnya Ian yang sedang kamu rencanakan?
Kenapa kamu menjebakku pada situasi yang terkadang tidak bisa kukendalikan.

Aku cemburu ketika melihat Raihan lebih dekat dengan gadis itu, aku ingin marah ketika melihat ia justru meninggalkan Raihan dan memilih jalan bersama pria lain.

Terlebih saudara tiriku itu terlalu lemah untuk sekedar menolak apapun yang sudah diminta gadis itu.

Raihan...
Apa aku harus merelakan gadis itu dan membiarkan Raihan untuk memilikinya???

-Azka Daniel.

Aku kembali melanjutkan, membaca buku itu, di ruang ternyaman saat ini: kamar tidur, di atas kasur.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, tanpa aku sebutkan namanya, kalian pasti tahu siapa yang akan datang. Benar begitu?

Jejak langkahnya semakin dekat, senyum kekhawatiran tampak dari wajahnya, sesaat ia mengembus napas kemudian melanjutkan langkahnya, duduk di pinggir kasur, memiringkan tubuhnya ke arahku.

Aku langsung memperbaiki posisi dudukku, setelah berjam-jam menghabiskan waktu menyandarkan punggungku di sandaran kayu tempat tidurku.

"Dia juga nggak ada ngabarin kamu?"

Raihan menggeleng, ia meraih tanganku, mengelus pelan punggung tanganku, "Naz, kamu benar-benar menginginkannya?"

Aku mengedikkan bahu samar, entahlah saat ini aku tidak bisa memahami perasaanku sendiri. Apa kalian pernah merasakan sesuatu yang ingin kalian raih, tapi enggan untuk memastikannya.

Aku rasa, aku diluar batas untuk mengendalikan hatiku sendiri.

Mungkin benar, aku terlalu egois untuk kedua pria yang saat ini hadir di hidupku.

"Kamu sudah membaca buku itu semuanya?" tanyanya, menunjuk buku yang aku letakkan di sampingku, dengan dagunya yang mulai ditumbuhi bulu halus.

"Aku belum menyelesaikannya. Jangan bilang kamu juga mengetahui isi buku ini?''

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang