BAB 6

489 84 20
                                    

Satu minggu setelah pertemuan itu tidak ada yang mengetahui ternyata itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Malam itu berakhir dengan kalimat akhirnya yang ia ucapkan tepat saat Ian menjatuhkan kepalanya, dipelukanku, menutup mata untuk selamanya.

Jika Tuhan mempertemukanku dengan Ian hanya untuk memperlihatkan apa yang tidak ingin aku lihat, lalu bagaimana aku bisa mengelak suatu takdir yang sudah tergaris.

Sejak malam itu aku tidak keluar kamar selain berangkat ke sekolah, setelahnya aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar, merebahkan tubuhku diatas kasur yang hanya bermuatan satu orang, sesekali aku memeluk boneka beruang yang dulu ia berikan padaku dua tahun lalu sebelum ia menghilang. Entahlah, aku seperti kehilangan dunia yang katanya akan ia kembalikan padaku. Nyata-nya ia mencuri duniaku lalu pergi untuk selamanya.

Ekor mataku menangkap kedua pria yang saat ini duduk di sofa, sama-sama melipat kedua tangan, menatapku dengan tatapan aneh. Dasar mereka seperti anak kembar yang di takdirkan tidak bersama.

"Bang, adek Abang kena serangan setan manalagi?" sindir Rai yang saat itu tengah duduk di sofa panjang yang berada tepat di samping meja belajarku.

"Klo kerasukan setan boyband sih Abang nggak heran Rai, tapi kayanya kali ini setannya bukan dari bumi."

"Kumis,,, diam aja sih udah macam patung selamat datang."

"Dek, kenapa sih? gak asik ah klo kamu diam gini."

Kedua pria menyebalkan itu terus saja berbicara sesuka hatinya, aku tidak peduli apa yang mereka katakan. Tatapanku berlalu begitu saja melihat mereka.

Tok Tok...

"Dek, Bunda boleh masuk gak?"

"Masuk aja, Bun, gak dikunci." teriak Bang Reno dari dalam kamarku.

Dalam hati rasanya ingin sekali mengusir kedua makhluk menyebalkan yang ada di kamarku ini, tapi percuma saja mereka berdua dan aku hanya sendirian, itu artinya aku akan tetap kalah dari mereka.

Mereka pikir kamarku tempat nongkrong, yang sesuka hati bisa mereka gunakan.

Bunda mendekatiku, mengelus pelan rambutku. "Dek, ada tamu, mau ditemuin gak?"

Belum sempat aku menjawab kedua makhluk yang tadi berada di sofa tiba-tiba saja menghilang seperti angin, setelah mendengar Bunda mengatakan ada seorang tamu untukku, mereka dengan kompaknya beranjak dari sofa lalu berlari keluar kamarku.

Dasar pria-pria menyebalkan yang tingkat kekepoannya melebihi kapasitas.

"Siapa Bun?" tanyaku heran, seingatku teman sekolahku tidak ada yang pernah berkunjung ke rumahku, selain manusia planet si Rai.

Bunda tersenyum, sesaat kemudian ia menepuk bahuku pelan, "Temui saja."

Aku mengangguk, lalu setelahnya Bunda ikut keluar dari kamarku menyusul kedua pria yang entah apa yang mereka lakukan.

***

Tidak lama setelah aku mengganti baju yang lebih pantas untuk dilihat, aku langsung berjalan keluar kamar menuju ruang tamu.

Langkahku terhenti sesaat melihat seseorang hanya dari balik punggungnya saja, entah kenapa aku mulai khawatir bertemu dengan orang itu.

"Azka???" batinku kemudian melanjutkan langkahku kembali dan langsung duduk di sofa.

Pria yang seminggu lalu menatapku sinis datang berkunjung ke rumahku. Aku tidak heran kenapa dia bisa mengetahui alamat rumahku, tapi yang sangat terlihat aneh pria yang mengenakan kemeja hitam itu, kali ini ia bersikap seolah kami memang mengenal dekat. Jelas sekali tatapan itu sangat ramah padaku.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang