BAB 22

774 86 28
                                    

Satu hari mencoba untuk mengenali, satu hari kemudian melupakan. Bayangkan saja hidup menahan resah dan gelisah setiap kali berhadapan dengannya.

Adakala satu hari ia memanggilku Na, dan adapula ia memanggilku sebagai Zhira.

Aku pikir hati ini mungkin tidak sanggup untuk mencobanya tapi kekuatan Raihanlah yang mendorongku untuk tetap berada di samping pria yang ternyata selama ini batas perasaanku sebagai kekaguman semata.

Keyakinanku muncul ketika hari aku mengatakan pada Raihan akan mencobanya di saat bersamaan pula aku merasa sakit mengatakan kalimat itu pada Raihan...

Jika selama ini aku bertanya-tanya pada siapa aku melabuhkan hatiku, tentu kalian semua bisa menjawabnya.

Ya... Raihan...

Pria yang tidak pernah letih menunggu untukku menerima hatinya, pria yang selalu ada di saat aku terluka dan bahagia.

Seandainya aku menyadari hal ini dari awal, tidaklah mungkin perjalanan hatiku serumit ini.

Kali ini terjebak dalam labirin yang hanya akulah pemilik langkah untuk keluar dari kerumitan ini.

"Ka..." ucapku ragu, aku ingin sekali mengatakan bahwa selama ini hatiku padanya hanyalah sebuah kekaguman yang menjelma ke-dilemaan.

Kami duduk di ayunan halaman belakang tempat pertama kali aku bertemu lagi dengannya.

Ia tersenyum padaku, melingkarkan tangannya di sela lenganku, meletakkan kepala di pundak milikku, ku biarkan sesaat sampai ia menjawab panggilanku.

"Na, maaf..."

"Maaf untuk apa? kamu nggak pernah berbuat kesalahan."

"Maaf sudah hadir dihidupmu, dan maaf selalu menempatkanmu dalam ketidakpastian," ia menghela napas panjang, "dan maaf jika aku sering tidak mengenalimu."

Ya Tuhan bagaimana aku bisa mengakhiri semua ini, jika dia saja mengatakan kalimat yang seharusnya tidak aku dengar. Permohonan maafnya bisa saja membuatku kembali ragu.

"Nggak perlu minta maaf, seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Kata maaf tidak pantas keluar dari mulutmu."

"Aku hanya ingin meminta maaf untuk terakhir kalinya, sebelum kamu benar-benar pergi, dan sebelum aku benar-benar tidak mengenalimu lagi."

Sesak... Saat ini itulah yang tengah aku rasakan, apa mungkin ia tahu bahwa aku tidaklah memilihnya?

"Kita belum mencapai batas dua tahun kan untuk bertemu lagi, tapi kamu sudah menentukan pilihanmu. Seperti yang aku katakan terakhir kali di rumah pohon, kamu harus memberikan kesempatan pada Raihan."

Aku terdiam sesaat, menundukkan kepalaku, menatap dirinya yang sedang tersenyum tipis bersandar dipundakku.

"Kamu tahu alasanku mengatakan hal itu?"

Aku menggeleng, karena mana mungkin aku tahu, aku bukanlah peramal yang bisa membaca pikiran orang lain.

"Karena setiap kali kita bersama, di matamu tidak memancarkan perasaan yang sesungguhnya, tapi lain hal saat kamu bersama Raihan. Matamu selalu berbinar, tawamu selalu lepas dan kamu bisa menjadi Nazhira yang kamu inginkan tanpa beban. Karena itu juga aku tahu bahwa hatimu sesungguhnya milik Raihan."

"Itu sebabnya kamu selalu mendorongku pada Raihan?"

Azka mengangguk, kemudian menegakkan posisi duduknya, menghadapku, "Sudah cukup Na, saatnya kamu kembali sama Raihan. Begitu juga denganku, aku akan kembali seperti Azka yang dulu."

Mataku menatapnya nanar, ia benar, sudah cukup aku mempersulit hatiku sendiri, sudah saatnya aku memberikan bahagia pada diriku sendiri.

"Kamu yakin?" tanyaku.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang