BAB 15

370 64 7
                                    

Jika aku mengatakan tidak percaya pada sebuah kalimat cinta, itu berarti aku sedang berada dalam ruang gelap yang menolak untuk diterangi.

Aku tidak seperti tanah yang siap kapan saja digenangi air karena rintikan hujan, atau karena aliran sungai yang meluap.

Aku selalu menjadi tidak siap untuk kehilangan, aku selalu mencari sejuta alasan untuk tidak membiarkan itu terjadi. Tapi nyata bertolak belakang.

Lagi, aku menjadi seorang gadis yang tidak bisa merebut dunia orang lain, dunia yang terlambat kutemui, dunia yang bukan karena gadis lain, melainkan kekuatan ikatan hubungan keluarga. Aku selalu kalah dengan hal itu.

Tahu alasannya?

Coba bantu aku menemukannya!

Aku melepaskan pelukannya, meraih kedua tangannya, kugenggam erat, kutundukkan kepalaku menghindari pandangannya. "Klo kamu menyayangiku, kamu pasti akan menemuiku, dan aku akan menunggu."

"Menunggu?" ia terkekeh, "heii, menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti, itu bukan tujuan, Na." Satu tangannya memegangi pipiku.

"Banyak sekali orang lain yang bisa menjalin hubungan, meski jarak memisahkan mereka. Apa tidak bisa kita juga melakukannya? Aku sudah terbiasa membiarkanmu pergi, lalu menerima kehadiranmu kembali. Apa itu tidak cukup untuk meyakinkanmu?"

Percayalah, kali ini aku tidak ingin kehilangannya setelah kepergian Ian. Kalian bisa saja bilang aku gadis labil, bodoh, terlalu percaya pada Azka. Tapi pernahkah kalian merasa, kehadiran rasa yang tak ingin kusebut namanya ini selalu menekanmu untuk memilikinya?

Aku tidak salahkan? jika kuberikan hatiku kali ini pada orang yang sudah berhasil merebut duniaku, meski tidak sekalipun ia memberiku kesempatan untuk merebut dunianya.

Aku adalah penumpang, dan hati adalah perahunya, lalu aku berhasil menemukan nakhodanya untuk menemukan tempat bersandar di pelabuhan yang dikehendaki. Pahamkan?

Itu artinya aku mengutus Azka sebagai nakhodanya, membiarkan membawaku dalam perahu yang ia jalankan untuk mengarah pada satu tujuan: kepemilikan.

"Na, kita tidak bisa egois, sekalipun aku dan kamu memiliki perasaan yang sama. Itu saja tidak cukup, aku tahu kamu mengerti," suaranya tersekat, aku sedikit mendongak, melihat wajahnya, kutangkap kedua matanya mulai berkaca-kaca.

Tuhan, saat ini aku tidak menyalahkan keadaan, aku tidak menyalahkan kenapa aku harus dipertemukan olehnya, dan aku tidak ingin menyalahkan siapapun. Tapi,,, bisakah aku diberikan waktu untuk memahami inginnya yang tak ingin menyakiti orang lain. Kenapa? kenapa harus dia yang mengorbankan diri. Begitu sesak rasanya, saat mencoba untuk mengerti.

"Raihan? apa karena itu?"
Dia menggeleng, "Bukan, tapi karena kamu."

Aku terdiam, menautkan kedua alisku, menatapnya bingung. Apa yang membuatnya mengatakan semua karena aku?

"Karena aku tidak mungkin membuatmu menunggu, aku tidak mau membiarkanmu melewati hari dengan penuh kegelisahan, kekhawatiran karena jarak. Lebih baik tidak sama sekali, daripada berakhir dengan saling menghindari dan pada akhirnya menyalahkan keadaan."

"Bagaimana bisa kamu bilang begitu, sedangkan kita tidak pernah menjalaninya. Aku terbiasa menunggu, dan itu memang tidak mudah, tapi aku bisa melakukannya." Entah apa yang membuatku yakin mengatakannya, bukankah aku juga pernah menunggu kepulangan Ian?

Azka tersenyum, "Aku tahu, bahkan tahu pasti bagaimana kamu menunggu Ian untuk kembali, dan aku juga tahu bagaimana kamu menyerah untuk menunggunya," ia tertawa kecil, "sampai akhirnya kamu membiarkan laki-laki lain mendekatimu, dan setelahnya kamu putuskan mereka dengan alasan bosan."

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang