BAB 7

454 76 17
                                    

Besok adalah hari terakhirku menyandang nama sebagai siswa SMA dan sekaligus hari kelulusanku, itu artinya tidak lama lagi aku akan memasuki dunia yang baru. Dunia yang aku tidak tahu seperti apa. Entah menarik atau mungkin sama datarnya seperti masa SMA yang aku jalani tiga tahun ini.

Hari itu setelah aku melampiaskan kesedihanku pada Bang Reno, tidak ada yang spesial lagi dalam hidupku. Aku menjalani sebagaimana anak manusia biasa, tidak lagi membolos, tidak lagi bermain-main, sesekali saja ketika Rai berkunjung ke rumahku, waktu bersama Rai kumanfaatkan sejenak untuk melepas kepenatan menghadapi hari-hari menjelang ujian akhir.

Rai selalu datang ke rumah untuk membantuku belajar, maklum saja, aku bukan orang pintar seperti Rai jadi secara sukarela ia menawarkan diri untuk membantuku, tentu saja aku mau. Kapan lagi ada bimbel yang gratis, datang ke rumah pula. Satu hal lagi setidaknya aku merasa tidak sendiri, kehadirannya selalu membuatku merasa nyaman.

Sampai saat ini Rai tidak tahu apa yang terjadi denganku dihari-hari sebelumnya, setiap kali ia membahasnya aku selalu mengalihkan pembicaraannya. Sama sepertiku, ada hal yang tidak bisa ia katakan tentang alasan kenapa ia memutuskan hubungannya dengan Tasya, dia selalu bilang, "Apa putus juga butuh alasan?"

Setiap kali dia berkata seperti itu aku hanya terdiam membisu, karena itu juga yang aku lakukan pada beberapa laki-laki yang menjalin hubungan denganku. Jika ada yang menanyakan alasan kenapa aku memutuskan mereka, aku pasti dengan yakin menjawab, "Kata putus tidak selalu memiliki alasan."

Aneh, kan??? tapi seperti itulah yang terjadi. Pantas saja, Ian memintaku untuk berhenti, berhenti mematahkan hati orang lain, karena ia tahu memutuskan perasaan orang lain tanpa alasan sama halnya menyakiti dan itu bisa saja berbalik pada diriku sendiri.

Ian selalu bilang padaku katanya: Jangan memberikan sesuatu, jika kamu mengharap balas. Jangan menerima sesuatu, jika kamu tidak bisa membalas.

Mungkin itu sebabnya ia pergi, karena apa yang ia terima dariku tidak bisa ia balas.

Pasti banyak yang penasaran bagaimana sosok Ian sampai bisa-bisanya aku sulit untuk melupakannya. Ian itu tidak tampan, seperti yang dia bilang aku bahkan lebih memilih menempel foto oppa korea dibandingkan fotonya didalam bukuku, dan Ian jauh lebih tua tiga tahun dariku.

Aku ingat sekali, bagaimana saat pertama kali kita bertemu. Waktu itu ia sedang bermain basket dengan beberapa temannya, dimana saat itu aku juga membolos dihari-hari terakhir aku masih memakai seragam SMP, entah apa yang membuat dirinya melempar salah satu sepatu miliknya kearah temannya tapi sialnya sepatu itu melayang tepat dikepalaku bertepatan saat aku berjalan dipinggir lapangan basket menuju taman bunga yang tidak jauh dari komplek rumahku.

Dia berlari kearahku, ia hanya tersenyum tipis saat itu, tatapannya sangat dingin. Saat itu aku berharap ia meminta maaf atas kesalahannya tapi setelah melihat dan memastikan keadaanku baik-baik saja, ia justru kembali lagi ke lapangan basket tanpa mengatakan satu kalimat apapun. Tentu saja aku marah dan langsung mengumpatinya dengan kalimat kasar setelah itu aku melanjutkan langkahku menuju taman.

Tiga hari setelahnya ia datang, membawakan satu tangkai bunga mawar putih, tepatnya bukan dia tapi seorang kurir yang mengantarnya ke rumahku, disana terselip kertas kecil yang mengatakan,

"Maaf, sudah membuatmu terluka. Jangan mengumpat, seorang gadis manis sepertimu tidak cocok melakukan hal itu."

Dari orang yang melempar sepatu padamu,
-Ian

Entah saat itu aku tidak tahu, harus bersikap seperti apa tapi ia berhasil membuatku menarik kedua sudut bibirku, seperti orang yang sedang merasakan kasmaran.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang