BAB 5

506 96 23
                                    

Jika kalian melihatku saat ini, pasti aku terlihat seperti orang bodoh. Berdiri, memaku pijakan menatap asing pada seseorang yang kini sudah berada didepanku.

Pria tinggi berpakaian casual memakai jaket biru navy dengan tas ransel dibelakang, ia tersenyum tipis, caranya menatapku masih sama, aroma farfum mint yang ia kenakan tidak sama sekali berubah, masih seperti saat kami pertama kali bertemu tiga tahun yang lalu. Aku menelan ludah memastikan bahwa dia adalah pria yang dulu hadir dimasalaluku, sampai akhirnya---

"Kamu apa kabar?" ia melangkah maju, berjalan mendekatiku yang terpaku di ruang tengah.

Aku menggeleng cepat, tersadar bahwa itu memang dia, dia yang membuatku jatuh cinta pertama kali sekaligus terluka.

"Ian???" kataku menautkan alis, menatapnya heran. Sudah dua tahun kami tidak bertemu kemudian ia datang kembali. Apa yang bisa kulakukan saat ini untuk berhadapan dengannya?

"Aku kesini untuk menyelesaikan sesuatu yang seharusnya sudah aku lakukan sejak dua tahun yang lalu."

"Kenapa baru sekarang? kenapa tidak biarkan saja semua berlalu? kenapa kamu harus kembali dihadapanku?" Ingin sekali rasanya aku menanyakan hal itu padanya tapi--- aku nyaris tidak bisa mengeluarkan suara.

Ekor mataku menangkap Rai yang sudah mengepalkan tangannya sejak tadi, mengancang-ancang pukulan pada pria yang saat ini dihadapanku, berjarak satu langkah dari tempatku berdiri.

"Rai, tinggalkan kami berdua." perintahku pada Rai, lalu ia mengambil jaket hoodienya di sofa yang berada di ruang tengah, matanya menatap tajam melihat wajah Ian, kemudian dengan sengaja menyenggol sisi lengan Ian secara kasar.

"Aku balik dulu, hawanya panas disini kedatangan setan luar." sindirnya lalu ia melangkah keluar pintu rumahku.

Meski aku mencoba terlihat biasa saja, tapi bohong jika saat ini aku tidak merasa senang bertemu kembali dengannya. Dia-- dulu satu-satunya orang yang membuatku merasa indahnya jatuh cinta meski pada akhirnya ia menghilang begitu saja seperti ditelan bumi.

"Duduk." kataku mengarahkan satu tanganku ke arah sofa. "Kamu mau minum apa? aku buatin dulu ya."

Begitu aku membalikkan badan untuk melangkah, ia langsung menarik tanganku, "Gak usah,,, aku kesini karena mau ngajak kamu ke suatu tempat."

Aku menyipitkan kedua mataku, ia tidak seperti Ian yang aku kenal, sangat asing, saat kehangatan yang biasa ia berikan menjadi terlihat dingin.

"Kemana? klogitu aku ganti baju dulu."
"Nanti juga kamu mengetahuinya. Dan kamu gak perlu ganti baju, aku lebih menyukai kamu yang seperti ini, berpakaian apaadanya."

Mataku lalu beralih melihat sekujur tubuh yang mengenakan kaos hitam polos dan celana kulot abu-abu.

Ia tersenyum, "Sudah aku bilang seperti ini saja, kamu terlihat cantik."

Mendengar hal itu saja, rasanya aku ingin terbang. Ahh,,, anak perempuan dipuji sedikit saja memang selalu beraksi sedikit memalukan dan salah tingkah.

Aku mengangguk pasrah, entah, hati ini begitu lemah tiap kali berhadapan dengan Ian. Mungkin karena masih ada hal yang tidak aku ketahui tentangnya itu sebabnya tanpa sadar aku masih meninggalkan harapan padanya.

Setelah berpamitan dengan Bunda dan Bang Reno. Kami berjalan keluar menuju motor berwarna merah-hitamyang terparkir di halaman rumahku, aku berdiri disamping motor Vixion miliknya, ia lalu memasangkan helm padaku. Saat itu juga rasanya aku ingin sekali menepis dan memakainya sendiri, alih-alih menepis aku justru terdiam tak berdaya, seolah semua duniaku kembali terhenti sama seperti dulu.

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang