BAB 16

293 58 6
                                    

Hal melelahkan yang saat ini sedang kujalani adalah: ketika tidak bisa melepaskan seseorang, yang kamu tahu orang itu sudah pasti tidak menginginkanmu, tapi aku tetap mengharapkannya setiap saat.

Dan hal terbodoh yang sedang aku lakukan bersedia menunggunya tanpa sebuah kepastian.

Ya!!! Tidak ada kepastian darinya, bahkan ia akan segera menghilang.

"Na,,," suara teriakkan dari luar terdengar menelisik ke telingaku.

Aku mengintip melalui jendela terbuka untuk mengetahui sosok yang memanggilku.

Halusinasiku???

Benar!!!

Aku mendengar suara itu tapi tidak kulihat wujudnya. Kuedarkan pandanganku ke setiap sudut yang mengelilingi rumah pohon.

Saat ini aku sedang sendirian, bulu halus dilekuk leherku mulai bangkit, merinding ngeri.

Aku menyandarkan punggung di dinding. Apa itu kamu Ian??? Apa saat ini kamu ada di sampingku?

Tidak begitu lama, terdengar kembali derap langkah yang mendekat. Aku menunduk, memejamkan kedua mataku, rasa takutku tidak mengizinkan mata untuk melihat.

Mungkin saja, kan, hutan ini angker???

"Na,,, kamu kenapa?"

Aku mendongak perlahan, kubuka sedikit satu mataku, seperti mengintip.

Aku mengembuskan napas lega, kudapati Azka yang sudah berjongkok di depanku.

"Muka kamu pucat, kamu sakit?" ucapnya ramah.

Aku menggeleng, Bagaimana bisa orang di depanku ini datang setelah ia berhasil membuatku emosi. Dia datang seperti tidak terjadi sesuatu diantara kami. Terlihat tenang.

"Masih mau mendorongku untuk memberi kesempatan pada Raihan?" tanyaku hati-hati, meski rasanya dada sudah mulai memanas.

"Aku minta maaf, nggak bermaksud buat memaksa, tapi aku memiliki alasan untuk melakukannya. Demi kebaikanmu dan juga Raihan."

"Iya, tapi apa? kamu juga harus bisa menjelaskan alasannya. Kamu pikir hati itu sebuah permainan ular tangga, yang setelah kamu melempar dadu berhasil dapat angka bagus dan naik ke tingkat lebih tinggi, ketika kesekian kalinya kamu melempar dan mendapat angka yang membuatmu jatuh, kamu menyerah, menerima kekalahan tanpa memgikuti lemparan dadu berikutnya. Aku bukan papan ular tangga yang bisa kamu mainkan bersama Raihan."

"Aku tahu, kamu memang bukan papan ular tangga yang bisa kumainkan, kamu itu gadis mungil yang selalu membutuhkan alasan dan meminta jawaban atas semua yang terjadi dihidupmu." Azka tersenyum, berdiri, lalu melangkah mendekati rak buku, mengambil salah satu buku diantara buku-buku yang tersusun rapi. Kulihat setiap gerakannya tanpa jeda, ia menarik buku berwarna putih yang hampir usang.

Setelah mengambil buku itu, ia mendekatiku kembali, menyerahkannya padaku. "Kamu akan menemukan jawaban yang dibutuhkan di dalam buku ini," ia menahan tanganku yang mulai membuka cover depannya. "Jangan sekarang, nanti setelah aku sudah tidak bersamamu. Kamu bisa membacanya."

Aku terdiam, kupejamkan mataku sesaat. Rahasia apalagi setelah ini yang akan menguak ke permukaan. Aku menghela napas panjang, membuka mataku perlahan.

Lensa bening di kedua mata Azka berembun, kuambil kacamata itu darinya, lalu kubersihkan dengan saputangan yang aku keluarkan dari dalam tas milikku.

Ia memegangi satu tanganku  mengunci gerakan pergelangan tanganku. "Kamu tidak perlu membersihkannya,"

"Kalau tidak dibersihkan, kamu tidak akan melihatku dengan jelas."

Ia tersenyum, "Bahkan tanpa kacamata itupun aku bisa melihatmu dengan jelas, aku tahu..." sesaat suaranya tersekat, "aku tahu kamu ingin menyuruhku membatalkan kesepakatan itu dan tetap memintaku untuk membiarkan kamu menunggu kepulanganku lagi."

Give Me That FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang