"Ajeng! Bangun Ajeng! Waktumu tak banyak lagi!"
Dengan mata yang masih terpejam, Ajeng mendengar suara dan guncangan kecil pada raganya. Seketika mata gadis itu pun tersibak,
"A..aku dimana? Kenapa kita disini"
"Ajeng kau harus bangun cu, kalau kau tak cepat menemukan raga kami, kami semua akan berada disini selamanya. Bahkan, nyawamu bisa terancam cu, temukan raga kami. Kalahkan Mardiana dengan senjatamu, serpihan kayu itu."
"Tapi bagaimana? Dimana raga kalian? Tahu aku berada dimana sekarang saja tidak. Lagipula aku tak bisa melakukan ini, nek," Ajeng menjawab dengan napas yang berat.
"Cu, aku mengenalmu sudah cukup lama. Kau adalah gadis yang kuat. Nenek yakin kau mampu melakukan ini."
"Tapi apa yang dapat seorang gadis lakukan dalam waktu singkat? Hanya menemukan raga kalian tanpa melawan Mardiana? Atau sebaliknya? Ini sungguh sulit nek bagiku."
"Ini tidaklah sulit. Kau hanya perlu melawan Mardiana setelah itu menemukan kami," nenek membuat Ajeng semakin ingin bertanya dimana dan bagaimana ia mengalahkan Mardiana.
"Kamu akan mengalahkannya disini dan mengalahkannya cukup dengan sedikit menancapkan ujung serpihan itu pada bagian tubuhnya," belum sempat Ajeng bertanya, kakek Denis sudah memberi tahu.
"Sekarang periksa sakumu!" kata nenek.
Ajeng pun langsung merogohi sakunya dan menemukan benda kecil. Benar. Itulah serpihan yang Mardiana takuti.
Tak lama, sang wanita usang pun datang. Dengan lantangnya ia berteriak,
"ENYAHLAH KALIAN SEMUA!HAHAHA."
"KALIAN AKAN KUHABISI!"
"Hahaha, kau sungguh hebat Mardiana. Sudah mati pun kau masih mampu menyusun strategi. Kau telah memulai drama. Tentu dramamu ini akan menjadi karma. Kau adalah wanita yang tak tahu diuntung. Memang pantas kau untuk dibakar warga kala itu!" nenek berkata tak kalah angkuh dari Mardiana.
Tak lama dari itu, warna hitam gosong pada tubuh Mardiana pun mengeluarkan api. Api tersebut berkoar dan semarak dengan teriakan Mardiana,
"ARRGHHH,"
"TAK ADA SATUPUN YANG DAPAT MENGALAHKANKU HAHAHA," dengan percaya diri Mardiana mengatakan itu. Dia berkata dengan nada seolah tak ada yang dapat mengalahkannya.
Mereka yang melihat keseraman Mardiana itu hanya bisa memejamkan mata sambil memeluk teman yang lain. Begitupula nenek, yang berpeluk pada cucu permpuannya. Tapi nenek merasakan keanehan,
"Dimana Ajeng?" ia mengitari seluruh ruangan yang serba abu-abu itu namun, tak ada Ajeng. Matanya meneteskan air mata sembari ia menjatukan kepalanya ke kepala Sati.
Tetapi, ia melihat sesuatu yang aneh pada Mardiana. Api yang tadinya berkoar kini melemah. Dilihatnya Ajeng dengan berani berada dibelakang Mardiana,
"Kenapa Mardiana? Kehabisan kekuatan?" kata Ajeng bertanya dengan sinis.
Mardiana pun spontan mengarah ke sumber suara yang tepat ada dibelakangnya, dilihatnya serpihan kayu bekas pembakaran dirinya dan langsung wanita itu seperti tersergap,
"AHHH, JAUHKAN ITU DARIKU! ATAU..."
"Atau apa? Kau ingin menghabisiku? Dengar! Kau adalah gadis yang sungguh jahat! Tak ada gunanya kau melampiaskan dendam kepada orang yang tak bersalah dan sama sekali tak mengerti tentang dirimu. KINI KAU SUDAH KELWATAN! TAK ADA AMPUN BAGIMU WANITA JAHATT!"
"AHHHHHH," dengan teriakan yang sangat kuat, Ajeng menancapkan serpihan kecil itu tepat pada dada Mardiana.
Mardiana yang kala itu merasakan, mungkin sakit yang luar biasa pun mengalahkan teriakan Ajeng yang besar itu.
"AHHHHHHH!!"
Ajeng memundurkan diri dan seketika melihat Mardiana yang terbang dan memudar. Tak hanya Ajeng yang menyaksikannya, tapi juga semua yang ada disana.
Sepeninggalan dari kepergiannya Mardiana, nenek berkata pada Ajeng,
"Cu, kau harus bangun di dunia nyata sekarang. Tugasmu disini telah selesai. Kini tugasmu adalah mencari raga kami. Kami akan bertahan hingga mungkin esok pagi saat matahari hampir terbit. Temukan kami secepatnya!" nenek pun berteriak pada Ajeng yang berada cukup jauh darinya.
Seketika Ajeng terduduk dan merasakan kepalanya sakit. Ia mengedipkan matanya hingga terbuka sempurna. Betapa terkejutnya ia saat melihat dirinya berada di kuburan dekat persimpangan itu.
"HA!Kenapa bisa aku disini? Dimana aku mencari raga mereka?" ia mengucek matanya berharap kalau dia salah melihat. Namun tetap dia berada di kuburan itu.
Malam itu terasa panjang bagi seorang gadis bernama Ajeng. Napasnya kini tak beraturan dan tanda tanya besar masih melekat dikepalanya.
"Dimana raga mereka?"
![](https://img.wattpad.com/cover/161893325-288-k454926.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Namanya Tiga Kali
TerrorCerita ini seperti tiada habisnya... Wanita paruh baya, yang dibakar, mengutuk sebuah desa. Meninggalkan sebuah pantangan. Yang telah memakan korban. Sudah terkubur namanya, namun masih ada ceritanya. Hingga nama yang telah terkubur, digali oleh ma...