Part 16: Akhirnya...

2.2K 126 7
                                    

Ajeng sungguh dibuat kebingungan serta merinding malam itu. Bagaimana tidak, ia berada di kuburan kemudian harus mencari raga teman-temannya dan nenek yang entah dimana keberadaannya. Waktu begitu mengikatnya.

Apakah aku dapat menemukan mereka?

Itu yang selalu ia tanyakan. Dia sudah berusaha memanggil jiwa teman-temannya dengan tujuan agar mereka bisa membantunya. Namun, sepuluh kali Ajeng memanggil mereka, sepuluh kali pula ia mendengar keheningan. Ia benar-benar dibuat seperti orang tak waras yang berbicara sendiri.

Setelah sekian lama ia berada didalam keheningan, ia memutuskan untuk pergi karena ia sungguh kebingungan. Takut? Tentu saja tidak bagi seorang Ajeng yang telah biasa dengan suasana kuburan pada malam hari. Kemudian ia berdiri dan segera melangkahkan kaki untuk segera pergi. Ajeng sungguh terlihat lemas dan ia berjalan sempoyongan tanpa melihat ada batu nisan didepannya.  Ia terjatuh karena kakinya menabrak nisan tersebut ,

"Aduhhhh!!" begitulah yang terdengar.

Ia pun memegang kakinya sambil memijatnya kemudian melihat batu nisan yang ditabraknya tadi,

"ASTAGFIRULLAH..." katanya dengan nada kaget.

"Iii..itukan nama Rizaa!!"

Di nisan itu hanya tertulis nama Afriza Prasetyo tanpa tambahan. Dalam pikiran Ajeng apakah ini Riza temanku?
Matanya mengitari tiap batu nisan. Benar saja, nama yang lain juga terdapat di batu nisan lainnya. Hanya nama panjangnya tanpa tambahan.

"Apakah aku harus menggalinya?"

"Tapi sebaiknya aku minta tolong warga!"

"Tapi tapi, nanti aku dikira gila, ngegali makam orang. Hmm baiklah akan aku kerjain sendiri."

Ia pun kembali kerumahnya, lebih tepatnya di gudang rumahnya. Ia memasuki gudang secara perlahan agar tak menimbulkan bunyi sedikitpun. Namun,  ia gagal melakukannya.

Plakk!!

Sebatang kayu pun jatuh dengan menimbulkan bunyi yang cukup kuat.

"SIAPA ITU!"

"Ahhh! Bapak, aku harus segera pergi!" dalam hatinya.

Ayah Ajeng keluar rumah dan langsung menyenteri garasi bersama dengan ibunya. Dengan sangat panik mereka mengitari seluruh ruangan itu dengan seksama. Alhasil tak ada apapun, hanya sebatang kayu.

"hmm mungkin hanya perasaanku saja."

"Udah pak, ga ada apa-apa, wess masuk."

                              -//-

Dengan langkah yang kalang kabut, seorang Ajeng pun mengeluarkan nafas yang tergesa-gesa. Hingga sampailah ia pada tempat tujuan.

"Siapa dulu yang akan kugali? Ahh tak ada waktu untuk memilih, intinya aku harus menyelamatkan satu agar dapat menolongku menggali," tekadnya sangat kuat. Ajeng memang terkenal ambisius, bertahan terhadap sesuatu yang ia inginkan. Tak jarang ia disebut keras kepala oleh orang terdekatnya. Namun, ia bukan keras kepala, melainkan bertekad besar.

Digalinya kuburan palsu tersebut hingga tampaklah Riza yang terlihat mengenakan kaos putih yang seketika kotor karena tanah.  Segera Ajeng menariknya keluar. Ajeng pikir ia akan menggali semua baru akan membangunkan mereka dari mimpi buruk. Ya, ia pun menggali makam kedua terlihatlah Ana dengan lusuhnya. Hinggalah yang terakhir, Vincent yang wajah tampannya terpolesi oleh tanah.

Disisi lain Ajeng sangat bersyukur. Benaknya berkata,
"Alhamdulillah, akhirnya aku berhasil menemukan mereka, tapi aku tidak habis pikir kenapa Mardiana seperti itu kejamnya. Kenapa kami yang diincar, apa! Kenapa!"

Setelah semua ditemukannya, kemudian ia mengerakkan raga mereka semua dan sembilan pasang mata akhirnya terbuka.

Dengan tiba-tiba Vincent berkata,
"Kau hebat Ajengg, memangg hebatt!"

"Ya iyalah. Emang kaya lo bisanya buat susah doang!" sahut Iti.

"Elahh lo kaya ga pernah buat susah aja."

"Ahh udah-udah, jangan debat, mending kita ke penginapan kalian aja udah pada kotor itu," ajak Ajeng sambil menggenggam tangan Iti dan Vincent.

Sesampainya dirumah, mereka mandi dan langsung tidur. Tidak dengan Vin. Ia malah mencari makan. Mungkin kejadian tersebut sangat menguras energinya.

Keheningan desa dan hawa sejuk membuat mereka lelap. Mereka semua tidur di penginapan malam itu.  Lebih lagi Ajeng, ia takut apabila ia pulang, ia akan diberi pertanyaan kritis dari bapaknya.

Jangan Panggil Namanya Tiga KaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang