Sehari sebelum ritual pembebasan...
Jam 9 malam..."Mardiana, Mardiana, Mardiana," kata seorang pria tua dengan sangat lantang di kamarnya dan pintu dalam keadaan di kunci.
Tak lama lampu mati. Tak sampai lima detik hidup kembali. Tampak seorang wanita berada disudut ruangan. Wajahnya dingin. Tatapannya tajam. Tanpa rasa takut pria tua itu berkata.
"Kenapa kau ganggu anak-anak itu? Apa salah mereka?"
Ternyata pria tua itu adalah kakek Denis.
"AHAHA, Denis! Karena kau pantanganku terpendam! Dan sekarang kau yang memanggilku! Kau akan kubawa bersamaku dasar pria tua!"
"Tidak secepat itu. Aku punya ilmu untuk menangkalmu," pria itu menunjuk Mardiana dengan nada keras.
"ARGHH," wanita itu terlihat sangat kesal dan ketakutan.
"Kau boleh mengambil kekuatanku. Dengan syarat kau harus bebaskan kampung ini dan teman-temanku dari jiwamu yang penuh kebencian!"
"Baiklah. Tapi kau juga harus mati sebagai korban terakhirku!" kata wanita itu dengan sangat sinis.
"Apa! Tidak. Kau tidak bisa melakukan itu. Aku akan menyerahkan kekuatanku, tapi kau tak bisa mengambil nyawaku," ujar pria tua itu dengan nada tinggi.
"Denis! Dasar kau. Aku tak akan mengambil kekuatan dan nyawamu. Tapi akan kubuat jumlah korbanku bertambah dan tak akan ada habisnya. AHAHA!"
Kakek Denis yang mendengar hal itupun kaget. Ia bingung harus melakukan apa. Hingga pria tua itu mengambil keputusan,
"Ba...baiklah, kau boleh mengambil kekuatan dan nyawaku. Tapi, kau harus benar-benar hilang dan tak akan menggangu lagi," ucapnya dengan suara ragu.
"AHAHA keputusan yang bagus Denis," jawab Mardiana sambil terkekeh.
"Tapi kau ambil nyawaku tanpa membuat jasadku gosong. Ambil nyawaku sehari setelah aku dan cucu-cucuku melakukan ritual pembebasan. Salah satu dari mereka akan memanggil namamu tiga kali. Namun jangan sekali-kali kau membuatnya lecet. Maupun mereka yang menyebut namamu.Atau kau akan berurusan denganku. Katakan saja kalau kau akan membebaskan kami semua dari kutukanmu. Dan setelah itu selesai. Be...besoknya,kk..kau boleh mengambil nyawaku."
"Jangan Denis jangan," disampingnya terlihat ada teman-temannya yang terjebak dalam dunia Mardiana.
"DIAM KALIAN," Mardiana langsung menghilangkan orang-orang itu hanya dengan jarinya.
"Baiklah Denis aku menyepakati itu semua," kata Mardiana.
Ternyata, nenek. Anak kakek Denis. Mendengar itu dibalik pintu yang terkunci itu. Ia menangis karena mendengarnya. Tak lama, pintu itu terbuka.
"Pak... Apa yang bapak lakukan? Kenapa bapak sangat nekat melakukan itu," tanya wanita itu pada ayahnya.
"Nak... Kau anak yang sangat ku andalkan. Kau anak yang paling mengerti diantara saudara-saudaramu. Bapak harap kau mengerti mengapa bapak melakukan ini. Ini semua demi kebaikan. Bukan hanya demi kebaikan anak kota itu. Tapi demi kebaikan desa ini dan masa yang akan datang. Bapak sudah tua. Bapak tahu umur bapak tak akan lama lagi. Bapak melakukan ini dengan sangat niat dan ikhlas. Bapak harap, kau tak berlebihan saat bapak meninggal. Karena bapak yakin dan pasti yakin kalau kita akan bertemu lagi nanti," bapak dan anak itu berpelukan sambil menangis.
Setelah ritual nenek menangis dan langsung pulang bersama kakek Denis. Ternyata, nenek menangis karena hal itu. Sesampainya dirumah, kakek hanya terus-terusan berdoa. Begitu pula nenek, berdoa dengan sangat khusyuk. Yang tahu kalau kakek nyawanya akan diambil hanyalah nenek. Kakek sengaja menyuruh nenek untuk merahasiakan ini.
Waktu yang mereka harap tak pernah terjadi pun datang. Di hadapan kakek dan nenek, munculah perempuan itu, Mardiana.
"Kau sudah siap, Denis?"
"Aa...aku siap," ucap kakek Denis sambil menarik napas panjang.
"Aku mohon, Mardiana. Jangan lakukan ini," jawab nenek sambil menangis.
"Tak bisa! Ini sudah menjadi kesepakatan kami. Dan kau berhak diam," kata Mardiana dengan kasar.
"Tenang saja, nak. Bapak tidak akan kenapa-napa."
"Tapi aku mohon. Ambil nyawanya dengan wajar. Tanpa ada masalah."
"Tenanglah. Itu yang kami bicarakan semalam," ucap Mardiana.
"Jaga semuanya dengan baik,nak."
Nenek hanya mengangguk. Tanpa sadar air matanya menetes.
"AHAHAHA," Mardiana tertawa dan menghilang.
Bertepatan dengan hilangnya Mardiana. Kakek Denis pun terjatuh dan menghembuskan nafas terakhirnya. Seketika ia membangunkan orang rumah tepat dini hari dan mengumumkan meninggalnya ayahanda dan kakek mereka. Mereka yang mendengar itu sangat terpukul. Ada orang yang saat itu tengah lewat dan bertanya ada apa. Setelah mengetahui kalau kakek Denis sudah menjadi almarhum. Orang itu segera mengabarkan pihak pengurus masjid dan diumumkan sejam setelahnya.
Kurang lebih seperti itu yang nenek ceritakan. Wanita itu berhenti menangis karena ia ingat betul pesan ayahnya, 'Bapak harap, kau tak berlebihan saat bapak meninggal'.
"Sabar ya, nek."
"Iya, cu. Nenek akan selalu sabar."
"Sungguh baik almarhum kakek Denis. Begitu besar pengorbanannya demi kami dan kampung ini. Secara, siapa kami? Tahu asal usul kampung ini saja kami tak tahu," kata Will.
"Sudahlah, cu. Almarhum melakukan ini dengan niat dan ikhlas. Tak ada baiknya kita membicarakan orang yang sudah tak ada. Kalau begitu nenek pulang dulu, ya. Nenek ingin menenangkan keadaan di rumah. Agar tak terlalu hanyut dengan kepergian almarhum kakek Denis. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," semua menjawab serentak dengan sangat pelan karena masih cukup tertekan mendengar kematian seseorang yang telah mereka anggap kakek mereka sendiri.
Wanita tua itu pulang dan mereka pikir, mereka bisa melanjutkan refreshing mereka tanpa ada gangguan lagi dari Mardiana dan merekapun berniat untuk memperpanjang liburannya.
Ini belum berakhir!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Namanya Tiga Kali
HorrorCerita ini seperti tiada habisnya... Wanita paruh baya, yang dibakar, mengutuk sebuah desa. Meninggalkan sebuah pantangan. Yang telah memakan korban. Sudah terkubur namanya, namun masih ada ceritanya. Hingga nama yang telah terkubur, digali oleh ma...