Bidikan Kamera

216 36 16
                                    


♥♡♥♡♥

   Terik mentari menyambut pagi Afika hari ini. Setelah seminggu tempat wilayahnya diliputi awan mendung, akhirnya ia dapat melihat sinar matahari juga. Weekend kali ini, Afika ada janji dengan kedua sahabatnya. Mereka bertiga berencana pergi ke suatu tempat. Meskipun Afika belum tahu jelas akan ke mana nantinya, ia mengiyakan saja. Daripada di rumah tanpa melakukan aktivitas apapun. Lebih baik ia pergi bersama sahabatnya.

    Tepat pukul 09.00 WIB, ia sudah selesai bersiap-siap. Afika berniat untuk menjemput kedua sahabatnya itu. Dia pun keluar kamar, melangkah menuruni anak tangga.

"Mau pergi ke mana, Non?"

  Suara Mba Nila mengagetkan gadis berparas cantik itu. Dia salah satu asisten rumah yang sangat peduli dengan Afika. Bahkan Mba Nila selalu bersedia mendengarkan segala masalah yang membuat perasaan anak majikannya itu sedih.

   Pembantu di rumahnya itu menghentikan aktivitas membersihkan vas bunga ketika melihat Afika turun dari kamar dengan membawa tas kecil di punggungnya. Dia berjalan menghampiri Afika.

"Mau keluar sebentar mba, jalan-jalan sama Jelita dan Vimna."

   Dengan lap yang dipegangnya, Mba Nila memandang Afika penuh kasih sayang. Walaupun tak ada ikatan darah diantara keduanya, tapi ia sangat menyayangi Afika layaknya seorang adik. Memang usia mereka berdua hanya terpaut 7 tahun. Dia bekerja bersama ibunya yang juga sebagai pembantu di rumah Afika.

"Pulangnya jangan sampai larut malam ya Non Fika," peringat Mba Nila kepada Afika.

"Iya mba, kan aku perginya dari pagi. Nanti sore pasti aku udah pulang kok. Aku pergi dulu ya mba," ucap Afika lalu kemudian berjalan menuju pintu.

  Saat tangan Afika sudah memegang knop pintu rumah, ia terdiam selama beberapa menit. Matanya melirik Mba Nila sekilas. Tak lama dari itu ia pun berucap.

"Mba Nila," jeda Afika lima detik, "kayaknya nggak akan ada yang khawatir kalau aku pulang malam, mba. Lagi pula Bunda juga jarang menanyakan keberadaanku kan?"


   Selesai mengakhiri ucapannya, Afika pun menutup pintu. Dia berjalan masuk ke mobil dengan sorot mata melamun. Kini perasaan hatinya menjadi tak menentu, mengingat kondisi keluarganya yang tak seperti dulu ketika ia masih berumur tujuh tahun. Kenangan manis yang tertelan fakta mencekam, membuatnya sampai sekarang benci dengan sosok ayahnya sendiri. Bahkan rasa benci itu juga mulai merambat ke ibunya.

Tak ingin terlalu lama larut dalam perasaannya, Afika segera melajukan mobilnya keluar, menuju ke rumah Jelita.

♥♥♥♥♥

Tak ada setengah jam, Afika sudah sampai di depan rumah Jelita. Afika berjalan ke arah pintu utama rumah beraksen putih dan biru. Ia menutup matanya dengan helaan nafas kasar. Mencoba menetralisir perasaannya lagi. Lalu ia pun mengetuk pintu rumah Jelita beberapa kali.

Tok! Tok! Tok!

  Usai mendengar sahutan dari dalam, pintu perlahan terbuka, menampakkan seorang wanita dengan pandangan matanya yang meneduhkan.

"Oh Fika," ucap Arnita, mamanya Jelita. Afika pun langsung menyalami tangan perempuan itu. "Silakan masuk dulu, Nak," ajak Arnita sambil mengantar sahabat putrinya masuk.

Menuju Hidayah-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang