Mencari Titik Terang

40 4 0
                                    

"Banyak kebenaran yang tak terungkap sebab mata telah dimanipulasi oleh kesalahan opini."
___

Jam tangan digital yang melekat pada pergelangan gadis itu menunjukkan angka 15.20. Kurang lebih ada lima belas menit Afika duduk menunggu di taman belakang sekolah. Bukan waktu yang lama. Namun ia merasa cukup bosan jika hanya berdiam diri menanti kemunculan sosok Rasya. Detik berikutnya ia memilih membuka buku dari tasnya. Merasa ada pekerjaan rumah, Afika pun mencoba mengerjakannya. Ya sebagai tempat pelarian kebosanannya.

Selang beberapa menit, tiba-tiba telinganya menangkap deretan melodi yang mengalun merdu. Mungkin asalnya dari ruang musik yang tak jauh letaknya dari taman belakang. Namun saat seorang menyanyikan sebuah lirik lagu, Afika tersentak. Ia berhenti dari aktivitasnya. Perlahan ia pun mendengarkannya.

Terkenang selalu
Masa kecil dulu
Sering aku merajuk dalam
kedamaian jiwamu
Selalu ada waktu
Untukku anakmu
Tak pernah kau mengeluh
walaupun disaat lelahmu
Dan tak pernah berubah
hingga aku dewasa
Engkau slalu setia

Reff:
Ayah dengan apakah
Aku kan membalasnya
Semua budi jasamu padaku
Karna aku tak punya
Yang sebanding nilainya
Dengan budi jasamu padaku
Maafkanlah anakmu jika hanya
do'aku yang dapat kuberikan


Mata Afika mengembun. Satu per satu bulir-bulir bening jatuh membasahi pipinya. Tatapannya lurus dan kosong. Meskipun hanya terdengar lirih, nyanyian itu mampu membawa diri Afika ke masa sepuluh tahun yang lalu. Dimana ia seolah pelaku dalam sebuah lagu itu.

Helaan nafas pun perlahan keluar dari mulut Afika. Ia segera menghapus jejak-jejak tangisnya. Untuk apa mengingat masa lalu yang sampai sekarang membuatnya takut melangkah.

Tak disangka selembar tisu terulur ke arah Afika. Lantas ia melirik siapa sosok yang memberikannya tisu. Di hadapannya berdiri seorang cowok sedang menatap dirinya penuh aura dingin. Dia Rasya.

"Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Afika setelah membuang muka. Menghindari kontak mata.

"Barusan. Setelah rapat ekskul."

Tak ada kalimat yang salah dari jawaban Rasya. Namun entah kenapa rasanya terdengar sedikit aneh di telinga Afika.

Itu sebabnya dia baru datang?


Rasya menunggu apa yang ingin dibicarakan oleh perempuan di depannya. Meskipun tak menyuarakan apapun, Afika tahu itu. Ia pun memilih kalimat yang tepat agar mudah dimengerti.

"Sebelumnya aku mau tanya, apa benar Vimna itu benar-benar sepupu kamu?"

Sengaja Afika menanyakan hal itu. Karena pertemuan sebelumnya di danau, Rasya mengatakan kalau Vimna adalah salah satu orang istimewa. Dia hanya ingin memastikan perkataan Vimna.

Masih dengan posisinya, Rasya mengangguk kecil. Sebentar lagi senja akan tergambar di ufuk barat. Gerbang SMA pun sudah pasti segera tertutup dan dikunci. Semoga saja tidak ada hal yang terlalu panjang untuk dibicarakan.

"Sepaham apa kamu tentang persoalan agama?"

Pertanyaan Afika barusan membuat tatapan Rasya kembali mengarah kepadanya. Namun sebelum terjawab, Afika kembali melontarkan pertanyaan.

Menuju Hidayah-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang