Dibalik Parasnya

45 5 2
                                    

"Sebelum cinta membutakan, coba bertanyalah. Siapa yang sedang kau perjuangkan?"

___

   Angin berdesir, terik matahari memancarkan sinar hangatnya ke bumi. Tetesan embun dedaunan perlahan turun dari ujungnya. Gumpalan putih yang terbentuk selaras dengan birunya langit. Sangat indah untuk dipandang. Bahkan mampu menarik senyum siapa saja yang takjub melihatnya.

  Kecuali untuk gadis berseragam tartan yang mempergontai langkahnya. Sorot matanya menatap kosong ubin-ubin putih di depan. Mengingat kejadian tadi malam, membuat dirinya sulit tidur. Pikirannya terbayang-bayang wajah sang bunda yang belum sadar sampai sekarang.

Afika masih fokus pada lamunannya. Hingga tak menyadari ada seseorang yang kini menyamai langkah gadis itu. Sosok lelaki berjaket hitam melemparkan pandangannya sekilas ke arah Afika. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket. Telinganya memang memakai benda penyumpal, tetapi ia sengaja melengangkan lantunan yang sebelumnya terdengar.

"Jangan jalan sambil melamun, nanti bisa jatuh," peringat lelaki yang sudah tak asing bagi Afika.

  Suara yang bisa ditebak siapa pemiliknya itu menarik kesadaran Afika. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Kemudian melirik ke arah sumber suara tadi.

"Ah, iya," ucap Afika diakhiri dengan senyum tipis. Air mukanya tak banyak berubah. Hanya pandangannya yang mulai fokus.

  Sebenarnya Rasya ingin menanyakan sesuatu, tetapi niat itu ia urungkan. Melihat kondisi Afika yang seakan diliputi banyak masalah, Rasya memilih diam.

  Di persimpangan koridor, mata Rasya sempat menemukan Vimna dan Jelita beriringan menuju kelas. Ia pun memutuskan untuk mendahului Afika sebelum kedua sahabat gadis itu melihatnya. Apalagi Vimna, sepupunya itu akan terus merasa curiga.

  Afika sendiri membiarkan lelaki itu pergi. Tak berminat menghalanginya. Ia hanya menatap punggung Rasya yang kian menjauh.

   Detik berikutnya, mata hitam Afika terfokus pada dua sahabatnya yang tampak berbincang dengan serius. Ia menangkap raut Jelita yang berbeda dari biasanya. Tak ada senyum manis yang terbit dari bibir gadis itu. Afika pun mencoba mendekati kedua sahabatnya.

"Hai," sapa Afika mendekat ke sisi Vimna. "Lagi bahas apaan tadi? Kayaknya serius banget."

"Hai Fik, kita cuma bahas hal yang nggak penting kok," ucap Vimna agak kikuk.

   Sedangkan Jelita hanya diam dan memalingkan wajahnya, seolah tak ingin menengokkan kepalanya ke arah Afika. Gadis itu pun menaruh tanda tanya besar di dalam hatinya. Sepertinya memang ada sesuatu yang disembunyikan oleh keduanya.

  Namun Afika tak mencoba untuk bertanya lagi. Ia memilih diam. Ketiga gadis itu pun beriringan menuju kelas. Hanyut dalam pikirannya masing-masing.

♥♡♥

  Sambil duduk di salah satu kursi kantin, Afika merenungkan pikiran dengan peristiwa semalam. Terlebih ketika ia melihat barang-barang di kotak coklat itu. Benda berharga yang sudah lama tak terlihat. Album foto keluarga Afika, arloji milik ayahnya, dua buah surat yang satunya telah terbuka, dan beberapa benda peninggalan ayahnya yang sudah tak terpakai.

  Tak peduli dengan situasi kantin yang ramai, Afika tetap bertahan pada lamunannya. Mencoba memahami setiap kalimat yang tertera di salah satu surat. Ia tak sengaja membacanya karena lipatan kertas itu sudah terbuka.

Menuju Hidayah-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang