Kunjungan Sahabat

145 21 5
                                    

"Sesakit apapun hatimu, jangan pernah melupakan Allah. Karena hanya Dia yang mampu memulihkan rasa sakit itu."

____________________________

Vimna tampak terkejut ketika membalikkan benda yang baru saja di ambilnya. Benda persegi panjang itu menampilkan tiga sosok orang yang begitu bahagia. Namun, kaca dari bingkai itu sudah retak. Bahkan kerangka bingkai itu sendiri juga agak patah. Mungkinkah benda itu jatuh?

"Apa tuh Vim?" Jelita bangkit dari pembaringannya. Ia ikut melihat benda yang dipegang Vimna. Jelita pun sama terkejutnya.

"Loh kok retak gitu? Lo abis ngejatuhin ini?"

"Nggak. Tadi gue nglihat udah ada di lantai. Kayaknya ada yang ngejatuhin ini dengan sengaja."

"Hmm... iya Vim. Dilihat dari efeknya, nggak mungkin kalau itu jatuh sendiri."

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Diambang pintu tampak Afika sedang memegang kepalanya. Dua sahabat itu pun langsung bangkit menuju Afika sesaat setelah melihatnya.

"Afika!"

Yang dipanggil justru terkejut lantaran tak menyadari keberadaan sahabatnya itu di kamar. Sejak kapan mereka di sini? Itulah yang terlintas dalam pikirannya. Namun saat pandangannya beralih pada benda yang ada di atas ranjangnya, seketika kegelisahan muncul di dalam hatinya.

"Lo sakit apa sih, Fik?"

"Cuma kecapekan aja."

"Gue kira lo demam, makanya gue tadi beliin buah jambu biar demam lo turun."

"Gue bilang apa, Fika cuma kecapekan, Jel. Harusnya tadi beli apel ijo aja," ucap Vimna menyalahkan Jelita.

"Ya kan gue nggak tahu."

"Udah-udah... jangan ribut," ucap Afika melerai percikan antara Vimna dan Jelita, lalu berjalan menuju nakas.

Beberapa butir obat itu ia masukkan ke dalam mulut lalu menelannya sambil meminum air putih. Setelahnya, bingkai retak itu ia ambil dari ranjang. Bibirnya tersenyum miris. Kedua sahabatnya pun berjalan mendekat ke arahnya.

"Kenapa bingkai itu bisa retak Fik?" tanya Vimna yang sudah terlanjur penasaran.

"Aku lempar."

"Hah! Lo lempar?" ucap Vimna dan Jelita bersamaan.

Afika mengangguk, tapi seketika ia tertawa renyah. Ekspresi wajahnya pun terlihat lebih ceria.

"Hehe... bercanda. Masak iya aku lempar, ini kan foto keluarga."

Afika tersenyum. Vimna dan Jelita pun ikut tertawa.

"Ya syukurlah. Kirain ada apa-apa Fik," ucap Jelita lega.

Mereka bertiga pun berbincang -bincang cukup lama. Sampai akhirnya jam menunjukan pukul 5 sore, mereka berpamitan pulang.

"Balik dulu ya Fik, udah sore nih. Nanti mama gue khawatir," ucap Vimna mencoba membenarkan tali sepatunya.

"Iya gue juga," ucap Jelita sambil menatap jam tangannya.

"Yaudah hati-hati di jalan ya."

"Siaapp."

Afika mengantarkan mereka berdua sampai ke depan pintu rumah.

***

Dengan pelan mobil berwarna hitam itu masuk ke pekarangan rumah Afika. Tidak mungkin itu mobil bundanya. Wanita itu tidak akan pulang lebih awal. Semua prioritasnya pada pekerjaan.

Menuju Hidayah-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang