Masih Berharap

20 3 0
                                    

"Jangan landasi pemikiran dengan prasangka buruk. Sesungguhnya ia hanya menjauhkanmu dari kenyataan yang baik."
___

  Terik matahari yang menyehatkan, membuat para siswa kelas XI IPA 3 yang melaksanakan olahraga di tengah lapangan berpeluh keringat. Kurang lebih tiga jam mereka beraktivitas, waktu istirahat yang ditunggu pun datang. Sebagian memilih untuk mengganti seragamnya. Sedangkan sisanya langsung meluncur ke kantin sebagai pelampiasan seusai melatih otot-otot tubuh.

  Tak ada tiga puluh menit, Afika dan kedua sahabatnya berganti pakaian. Setelah menyimpan kaos yang penuh bercak keringat, ketiganya pergi menuju kantin.

"Duh, tangan sama kaki gue kok sakit sih. Makin benci aja deh sama mapel satu ini," keluh Jelita. Tangannya memijit lengan kiri atasnya.

"Tanda-tanda nggak sering olahraga tuh." Vimna menyenggol bahu Jelita pelan.

"Kayak kamu sering olahraga aja, Vim."

"Nah tuh, dengerin Afika. Jangan cuma bisanya ngomongin orang."

"Gue deh yang kena. Eh nanti pulang sekolah, ada yang bisa nemenin gue nggak?" tanya Vimna sambil melirik kedua sahabatnya.

    Dengan tak enak hati, Jelita mengatakan kalau sore nanti ia akan pergi bersama Juno. Vimna mengerti itu. Matanya kini melirik Afika. Berharap ia mempunyai waktu luang.

"Maaf Vim. Sore ini aku ada urusan, maaf ya," ucap Afika lembut. Bibirnya terlumat ke dalam.

"Ok, mungkin hari ini gue lagi ngenes."

  Jelita dan Afika terkekeh mendengar kalimat Vimna barusan. Keduanya pun membujuk Vimna agar tak kesal.

   Kantin sekolah sudah dipadati banyak siswa. Itu reaksi pertama dari Afika ketika menginjakkan kaki di sana. Matanya menjelajah semua sudut ruangan. Dan tepat saat menemukan tempat yang masih kosong, Afika mengajak kedua sahabatnya ke sana.

   Usai duduk di kursi kantin, Afika memilih menitip makanan pada Vimna dan Jelita. Keduanya pun pergi menuju stand makanan.

  Afika mengeluarkan ponselnya. Menggulirkan jari lentiknya ke layar. Lalu mengirim pesan kepada seseorang yang sepulang sekolah nanti sudah berjanji akan menemuinya.

Kak Rin
InsyaAllah, ketemuan di taman kompleks ya.

  Afika menyanggupi permintaan Ririn. Kali ini Afika berharap bisa segera memecahkan rasa penasarannya selama sepuluh tahun terakhir. Mungkin saja ada satu atau lebih informasi yang tidak ia ketahui. Afika bertekad akan menyelesaikannya. Cukup sudah hidupnya diliputi kebimbangan.

  Afika menghela napas, sedikit melepas rasa letihnya. Ia tak lagi fokus pada ponselnya. Netranya mencari keberadaan kedua sahabatnya.

Ah, sialan.

  Tak ingin terlalu lama matanya menangkap sosok menyebalkan. Afika memalingkan wajahnya. Ia berharap lelaki itu tak mencoba mendekatinya lagi.

  Baru saja Afika selesai mengucapkan harapannya, sosok itu telah menyapanya. Lalu ikut duduk di seberangnya sambil membawa segelas minuman.

"Hai, sendirian? Jelita mana?" tanya Juno tanpa bersalah mengenai perlakuannya dua hari yang lalu.

Afika tak menyahut. Ia tak berminat melihat makhluk yang ada di depannya.

Menuju Hidayah-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang