"Manusia butuh keberanian juga untuk mengakui sebuah perasaan."
____
Berbagai kegiatan sudah terlaksana dengan baik. Kini giliran satu kegiatan terakhir yang akan di ikuti oleh perwakilan dari semua kelas. Menampilkan bakat dalam bidang seni ataupun musik. Masing-masing kelas harus menunjuk satu siswa. Jika tidak, maka denda akan di berikan sebagai sanksi.
Malangnya, untuk perwakilan kelas XI IPA 3 diberikan kepada Afika. Siswi yang sedari tadi memaksakan diri untuk menikmati jalannya perayaan setiap satu tahun sekali itu. Karena demi kebijakan, Niko, sang ketua kelas meminta untuk mengundi nama teman sekelas dalam secarik kertas yang digulung. Menurutnya itu sudah adil. Saat Niko mengocok semua gulungan kertas, keluarlah sebuah kertas kecil yang ternyata didalamnya tertulis nama Afika.
Mau tidak mau, Afika terpaksa mengikuti kegiatan itu sebagai tanggungjawabnya. Ia pun memilih memainkan sebuah gitar dengan kunci yang sudah Afika hafal.
"Lo mau main gitar sambil nyanyi apa, Fik?" tanya Jelita yang duduk menemani Afika di dekat panggung.
"Nggak, cuma main gitar aja."
Dari nada bicaranya, Afika tampak tenang saja. Padahal ia belum pernah melakukan apapun di hadapan orang banyak.
"Kok gitu sih, Fik. Lo juga nyanyi atuh. Feel-nya kurang ntar," ujar Vimna sedikit memberi saran.
"Kalau gitu mending kamu aja yang tampil. Mana mau aku nyanyi di sini." Afika memang tak begitu suka dengan seni tarik suara. Bukan karena suaranya. Justru dia punya bakat dalam bidang itu. Hanya saja, ia tak mau memperlihatkannya.
Beberapa perwakilan sudah tampil maju ke atas panggung. Nomer urutan pun semakin habis. Sebentar lagi giliran Afika tampil. Tangannya sedikit gemetar meskipun wajahnya tak menampakkan kecemasan. Namun Vimna menyadari itu. Ia pun menepuk bahu Afika pelan. Mencoba menyalurkan energi positif.
Di balik lensa kameranya, Rasya tak sengaja menemukan keberadaan Afika. Gadis itu terlihat sedang mengkhawatirkan sesuatu.
"Untuk peserta terakhir, mari kita sambut Afika Sidqia A. perwakilan dari kelas XI IPA 3 yang akan mempersembahkan permainan musiknya dengan gitar!" Suara MC di pengeras suara itu membuat Rasya menarik salah satu alisnya. Ada hal yang terdengar aneh di bagian nama gadis itu.
Kenapa nama panjangnya tidak sepenuhnya di sebutkan? Apa itu sebuah marga?
Berbeda dengan Rasya, kini Afika melangkah ke panggung dengan hati dan pikiran yang cemas. Beruntung panitia menyiapkan kursi. Jika tidak, mungkin ia akan jatuh ke lantai panggung karena kakinya yang sudah tak kuat menopang tubuhnya.
Kurang dari 5 menit, Afika mengakhiri permainan gitarnya. Ia langsung turun ke bawah panggung. Sesampainya ia di kursi Vimna dan Jelita, ada dua gadis yang menghampirinya. Keduanya memakai kain putih untuk menutupi rambutnya, atau biasa orang menyebutnya dengan kerudung. Afika diberi respon baik soal permainan gitarnya. Setelah menyampaikan kekagumannya, kedua gadis itu pergi entah kemana.
"Mereka berdua baik ya, Fika," ucap Vimna sambil menatap keduanya menjauh. Afika yang ada di sebelahnya pun mengangguk kecil.
"Hey, kita pergi ke kantin yuk. Gue udah laper nih," ajak Jelita dengan tangan kanannya yang menepuk kecil perutnya.
Afika dan Vimna pun sedikit terkekeh melihat tingkah Jelita. Sambil melayangkan candaan, ketiganya pergi menuju kantin.
♥♥♥
Pukul 03.20 sore, usai sudah rangkaian kegiatan yang dilakukan di SMA N Bakhti Bangsa. Semua siswa pun satu persatu keluar gerbang sekolah menuju rumahnya masing-masing. Namun tidak untuk siswa yang masih harus mengurus tugas terkait organisasi. Seperti Rasya misalnya. Ia harus berkumpul setidaknya untuk menunjukkan hasil dokumentasinya kepada sang ketua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Hidayah-Mu
SpiritualSpiritual-Teen Fiction (ON GOING) Cover by: @liafadhilah Meskipun sudah berada di jalan yang benar, bukan berarti seseorang itu pasti mampu memegang keistiqamahannya. Sama halnya dengan gadis di kisah ini. Dia Afika Sidqia A., salah satu siswi d...